BAB II PEMBAHASAN
TJOET NYAK DHIEN
A. Siapa
Cut Nyak Dhien ?
Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak
melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum
imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang
di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan
Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh,
tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan
bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria
pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya
adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan
bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia,
uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya,
yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad
ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien
adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil
Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan
ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai
rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan
hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan
kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana
lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan
tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana
perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang
panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi
keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum
kafir.
Pada masa kecilnya, Cut
Nyak Dien merupakan sosok anak yang cantik. Beliau memperoleh pendidikan pada
bidang agama (dididikan orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga
(memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang
dididik baik oleh orang tuanya). Pada saat itu banyak laki-laki yang suka
dengan sosok Cut Nyak Dien dan berusaha melamarnya. Tepat pada usia 12 tahun, .Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh
orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga
XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul
Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan
perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang
mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985:
107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut
pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan
baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari
ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan
penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara
kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.
B. Apa yang dilakukan Cut Nyak Dhien ?
Ketika perang Aceh
meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga
merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang
berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan
suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang
suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan
perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang
menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka
yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang
berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Tepat
pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang melawan rakyat Aceh.
Setelah pernyataan tersebut diumumkan, Belanda mulai melepaskan tembakan meriam
ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun
meletus pada saat itu, perang pertama dimulai pada tahun 1873 dan berakhir pada
tahun 1874. Pada saat itu rakyat Aceh dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan
Machmud Syah untuk bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf
Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Tepat pada tanggal 8 April
1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Kohler, dan
berhasil mengambil alih Masjid Raya Baiturrahman dan membakar mesjid tersebut.
Melihat tindakan Belanda yang semena-mena tersebut, Cut Nyak Dien yang melihat
langsung mesjid itu dibakar, berteriak pada tentara Belanda:
Lihatlah
wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan
nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak
Belanda ?
Kesultanan
Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garisdepan
kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April
1873.
J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh. Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan yang baru Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim berhasil diduduki pihak Belanda, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Melihat kondisi yang terjepit, Cut Nyak Dien dan bayinya memutuskan untuk mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Sementara suaminya melanjutkan perjuangan untuk bertempur melawan Belanda guna merebut kembali daerah VI Mukim.
J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh. Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan yang baru Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim berhasil diduduki pihak Belanda, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Melihat kondisi yang terjepit, Cut Nyak Dien dan bayinya memutuskan untuk mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Sementara suaminya melanjutkan perjuangan untuk bertempur melawan Belanda guna merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, Suami dari Cut
Nyak Dien ini tewas tepatnya pada tanggal 29 Juni 1878.
Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan
Belanda.
C. Kapan
Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar ?
Begitu
menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya
bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang
masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya
sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu
usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan
dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan
Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya
Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk
ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan
menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya
moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya,
Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya. Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.
Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya. Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.
Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
“ Sebagai
perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah
syahid “
D. Dimana
Cut Nyak Dhien berperang melawan Belanda ?
Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak
Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan
Belanda., Cut Nyak Dien memimpin perlawanan
melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan
mencoba melupakan kematian suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai
kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang
di medan daerah Aceh. Selain itu, umur Cut Nyak Dien yang sudah semakin tua membuat
matanya sudah mulai rabun, dan ia juga terkena penyakit encok. Tak hanya itu
jumlah pasukannya terus berkurang dari hari ke hari, serta sulit memperoleh
makanan juga membuat pasukan Cut Nyak Dien semakin terpuruk. Semua hal ini
membuat iba para pengikut dari Cut Nyak Dien Segala barang berharga yang masih
dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali
sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya
tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman
Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah.
Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.
Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan
Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh,
sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak
pernah berhasil.
Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh nampak sekali
ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan amarah dan
semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama
orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya!
Mereka menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya!
Nama Allah dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir
yang serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir
yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?”
(Szekely Lulofs, 1951:59).
E. Mengapa
Cut Nyak Dhien diasingkan ke Sumedang ?
Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah. Kehidupan putri
bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan
seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan
bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun
dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping
itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin
sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus
panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan
yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien menjadi sangat
marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya.
Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya
dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus
menghormatinya.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika
sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan
berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya
berhasil menangkap tangannya. Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya
dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari
mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di
dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.
Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali.
Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu sikap
menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya.
Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan
kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu
kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke
Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir perjanjiannya
dengan Pang Laot Ali.
F. Bagaimana
kehidupan masa tua Cut Nyak Dhien ?
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Bandda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya
seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya
dibuang ke Sumedang, Jawa Barat , karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya
akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan
dengan pejuang yang belum tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh
lain dan menarik perhatian bupati Suriaat maja.
Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak
Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia
ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien
merupakan ahli dalam agama Islam , sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu
Perbu".
DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini. Tua renta
dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di
tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari
tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan
politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh
pada 11 Desember 1906.
Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang
Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan
yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di
rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang).
Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat. Di antara mereka yang datang
banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan
simpati yang besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang
diberikan oleh Belanda.
Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat
Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah
komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota
Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya
perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga
kemerdekaan Indonesia.
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan
Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda baru
diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal
telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu
berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya dengan
mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien yang diasingkan
Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya
bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal
karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada
tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan "Ibu
Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai pahlawan nasional Indonesia melalui
SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2Mei 1964.
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan
pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian
dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering
menggelar acara sararehan . Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut
Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan
masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah
setelah hari pertama lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan
acara Haul setiap bulan November.
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan
dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis
tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada
tanggal 7 Desember 1987 . Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang
ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan
di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam
keluarga ulama H. Sanusi.
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya,
tulisan, Surah Bahasa Arab At-Taubah dan
Al-Fajr , serta hikayat cerita Aceh. Jumlah peziarah ke
makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka
dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering
diawasi oleh apparat.Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal
di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet
Nja' Dhien, Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6 November 1908;
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan
Nasional Indonesia dari Aceh yang
berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim
diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda.
Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang
menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan
Belanda.
Teuku
Umar,
salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut
Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam
medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880.
Mereka dikaruniai anak yang diberi nama Cut
Gambang.[1]
Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia
bersama Teuku Umar
bertempur bersama melawan Belanda. Namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899,
sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya.
Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakit encok dan rabun,
sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena
iba. Ia akhirnya ditangkap dan
dibawa ke Banda Aceh. Di sana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun,
keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Ia juga masih
berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, Dhien dibuang
ke Sumedang. Tjoet Nyak Dhien meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan
dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien kini diabadikan
sebagai Bandar
Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.biografi-tokoh.com/2013/02/biografi-cut-nyak-dien-pahlawan-wanita.html
http://www.wartasejarah.blogspot.com/2013/07/cut-nyak-dien_26.html
http://www.biografiku.com/2011/09/biografi-cut-nyak-dhien-pahlawan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Dhien
https://serbasejarah.wordpress.com/2009/03/30/cut-nyak-dien-1850-1908-perempuan-aceh-berhati-baja/
Komentar
Posting Komentar