Makalah
Pengantar Ilmu Humaniora
Manusia Dan Aspek Ilmu
DI SUSUN OLEH:
Yuni Saputri (140501008)
Wahyu MuniraRina (140501001)
Avicenna Al-Maududdy (140501029)
Pembimbing :
Imam
PRODI SEJARAH
KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB
DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI AR RANIRY
TAHUN AJARAN
2014/2015
BAB II PEMBAHASAN
MANUSIA DAN ASPEK ILMU
A. PENGERTIAN MANUSIA
1. Pengembangan
manusia dari segi Susila
Aspek kehidupan susila adalah aspek ketiga setelah aspek
individu dan sosial. Manusia dapat menetapkan tingkah laku yang baik dan yang
buruk karena hanya manusia yang dapat menghayati norma-norma dalam
kehidupannya.
Dalam proses antar hubungan dan antaraksi itu, tiap-tiap
pribadi membawa identitas dan kepribadian masing-masing. Oleh karena itu,
keadaan yang yang cukup bermacam-macam akan terjadi berbagai konsekuensi
tindakan-tindakan masing-masing pribadi.
Kehidupan manusia yang tidak dapat lepas dari orang lain,
membuat orang harus memiliki aturan-aturan norma. Aturan-aturantersebut dibuat
untuk menjadikan manusia menjadi lebih beradab. Menusia akan lebih menghargai
nilai-nilai moral yang akan membawa mereka menjadi lebih baik.
Selain aturan-aturan norma, manusia juga memerlukan
pendidikan yang dapat digunakan sebagai sarana mencapai kemakmuran dan
kenyamanan hidup. Pendidikan dapat menjadikan manusia seutuhnya. Dengan
pendidikan, manusia dapat mengerti dan memahami makna hidup dan penerapannya.
Melalui pendidikan kita harus mampu menciptakan manusia
yang bersusila, karena hanya dengan pendidikan kita dapat memanusiakan manusia.
Melalui pendidikan pula manusia dapat menjadi lebih baik daripada keadaan
sebelumnya. Dengan pendidikan ini, manusia juga dapat melaksanakan dengan baik
norma-norma yang ada dalam suatu masyarakat. Manusia akan mematuhi norma-norma
yang ada dalam masyarakat jika diberikan pendidikan yang tepat.
Dengan demikian, kelangsungan kehidupan masyarakat
tersebut sangat tergantung pada tepat tidaknya suatu pendidikan mendidik
seorang manusia mentaati norma, nilai dan kaidah masyarakat. Jika tidak maka
manusia akan melakukan penyimpangan terhadap norma-norma yang telah disepakati
bersama oleh masyarakat.[1]
2. Perkembangan Manusia Dari Segi
Religius Atau Agama
Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa di muka bumi ini
sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Melalui
kesempurnaannya itu manusia bisa berpikir, bertindak, berusaha, dan bisa
menentukan mana yang benar dan baik. Di sisi lain, manusia meyakini bahwa
dia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu
Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, sudah menjadi fitrah manusia
jika manusia mempercayai adanya Sang Maha Pencipta yang mengatur seluruh sistem
kehidupan di muka bumi.
Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa meninggalkan unsur
Ketuhanan. Manusia selalu ingin mencari sesuatu yang sempurna. Dan sesuatu yang
sempurna tersebut adalah Tuhan. Hal itu merupakan fitrah manusia yang
diciptakan dengan tujuan untuk beribadah kepada Tuhannya.
Oleh karena fitrah manusia yang diciptakan dengan tujuan
beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, untuk beribadah kepada Tuhan pun
diperlukan suatu ilmu. Ilmu tersebut diperoleh melalui pendidikan. Dengan
pendidikan, manusia dapat mengenal siapa Tuhannya. Dengan pendidikan pula
manusia dapat mengerti bagaimana cara beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Melalui sebuah pendidikan yang tepat, manusia akan
menjadi makhluk yang dapat mengerti bagaimana seharusnya yang dilakukan sebagai
seorang makhluk Tuhan. Manusia dapat mengembangkan pola pikirnya untuk dapat
mempelajari tanda-tanda kebesaran Tuhan baik yang tersirat ataupu dengan jelas
tersurat dalam lingkungan sehari-hari.
Maka dari keseluruhan perkembangan itu menjadi lengkap
dan utuh dalam setiap sisinya, baik dari sisi individu, sosial, susila, maupun
religius. Keutuhan dari setiap sisi tersebut dapat menjadikan manusia menjadi
makhluk yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk-makhluk Tuhan
yang lain.
3. Perkembangan
Manusia Dari Segi Sosial, Interaksi Sebagai Proses Sosial
Interaksi sosial adalah proses saling mempengaruhi dalam
hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok,
kelompok dan kelompok.
Proses adalah tahapan-tahapan dalam suatu peristiwa untuk
membentuk jalannya rangkaian kerja. sedangkan sosial adalah segala sesuatu
mengenai masyarakat yang peduli terhadap kepentingan umum. Jadi, proses sosial
adalah tahapan-tahapan dalam suatu peristiwa untuk membentuk manusia
bermasyarakat yang memperhatikan segi kehidupan bersama.
4. Pengembangan Manusia dari segi Budaya
Manusia juga akan mulai berpikir tentang
bagaimana caranya menggunakan hewan atau binatang untuk lebih memudahkan kerja
manusia dan menambah hasil usahannya dalam kaitannya untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari. Manusia sangat mempunyai hasrat yang tinggi apabila dibandingkan
dengan makhluk hidup yang lain. Hasrat untuk selalu menambah hasil usahanya
guna mempermudah lagi perjuangan hidupnya menimbulkan perekonomian dalam
lingkungan kerja sama yang teratur. Hasrat disertai rasa keindahan menimbulkan
kesenian. Hasrat akan mengatur kedudukannya dalam alam sekitarnya, dalam
menghadapai tenaga-tenaga alam yang beraneka ragam bentuknya dan gaib,
menimbulkan kepercayaan dan keagamaan. Hasrat manusia yang selalu ingin tahu
tentang segala sesuatu disekitarnya menimbulkan ilmu pengetahuan.
Ada
hakekatnya kebudayaan mempunyai dua segi, bagian yang tidak dapat dilepaskan
hubungannya satu sama lain yaitu segi kebendaan dan segi kerohaniaa. Segi
kebendaan yaitu meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari
akalnya, serta bisa diraba. Segi kerohanian terdiri atas alam pikiran dan
kumpulan perasaan yang tersusun teratur. Keduanya tidak bisa diraba.
B . PENGERTIAN HAKIKAT MANUSIA
Hakekat
manusia adalah sebagai berikut :
a. Makhluk yang
memiliki tenga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b. Individu yang memiliki sifat rasional yang
bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
c. Yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang
positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
d. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang
dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
e. Individu yang dalam hidupnya
selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri,
membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati
f. Suatu keberadaan yang berpotensi yang
perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
g. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang
mengandung kemungkinan baik dan jahat.
h. Individu yang
sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak
bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam
lingkungan sosial.
Kajian-kajian
yang luas dalam mempelajari manusia, kebudayaan, dan masyarakat berupaya
menandai gejala-gejala kemasyarakatan, melihat hubungan gejala dan analisis
dengan konsep-konsep yang ada dalam bidang antropologi dan sosiologi. Pamehaman
gejala kemasyarakatan dibutuhkan karena kondisi Indonesia yang amat beragam
dalam berbagai aspek.Harus diakui bahwa perhatian kondisi Indonesia berasal
dari kelompok colonial Belanda. Pada awalnya, mereka tertarik untuk membuat
pendidikan dasar guna peningkatan mutu pegawai negeri di tanah jajahan (
Prager, 2005 ). Menurut Moelia, setelah kemerdekaan, justru keadaaan Indonesia
sebagai Negara dan masyarakat baru tengah berkembang secara cepat meninggalkan
ketradisionalnya ( Moelia, 1951 dalam Preger, 2005 ), dari kumpulan Negara
tradisional jajahan Belanda ( Hindia Belanda ) menjadi Negara republic
Indonesia. Dengan demikian, peluang penelitian kemasyarakatan dengan berbagai
kajian ilmu dan teori amatlah terbuka. Misalnya, Koentjaraningrat menjadi
contributor penelitian sosial raksasa G.P. Murdock, yakni Human Relations Area
Files ( HRAF ) yang di biayai oleh Yale Univercity, AS.[2]
Pemerintah
juga memerlukan kajian kemasyarakatan untuk kemajuannya . Banyak isu yang perlu
dipecahkan, misalnya KB, proyek transmigrasi, transisi Negara agraris ,enjadi
industry, pembentukan karakter bangsa, da lain-lain ( lihat Koentjaraningrat,
1976; Lubis, 1977; Ramsted, 2005; Marzali, 2005 )
C . PERHATIAN ATAS KEHIDUPAN MASYARAKAT
Fase
penelitian kemasyaraatn oleh Koentjaraningrat ( 1990 ) diajukan melalui empat
tahapan. Selanjutnya yang ditambahkan oeh penulis adalah salah satu fase dan
langkah berikut dari fase-fase terakhir tersebut. Fase-fase tersebut adalah
fase sebelum tahun 1880, pertengahan abad ke-19, awal abad ke-20, dan setelah
tahun 1930. Sebuah fase tambahan dari penulis adalah fase globalisasi, sebuah
fase yang merupakan upaya dari bangsa Indonesia menghadapi kemajuan saat ini.
Pada
fase pertama, yakni sebelum 1880, telah terjadi banyak peristiwa yang
digambarkan oleh seseorang atau kelompok terhadap kelompok lainnya. Beberapa
catatan yang terrkomentasi dengan baik tidak hanya menjelaskan apa yang
digambarkan oleh penulis, tetapi juga penulisannya itu sendiri. Pada fase ini
yang diutamakan adalah upaya mendeskripsikan antarkelompok yang dilihat dari
sudut pandang penulis.
Contoh-contoh dari penulisan ini yang masih dapat dilihat
adalah catatan tentang bangsa-bangsa; antara lain tulisan di dalam kitap suci (
Taurat, Injil, AL-Quran ) yang menggambarkan tingkah laku, pola piker dan
bahkan cici-ciri tertentu yang melekat pada kelompok tersebut. Catatan lainnya
berasal dari para pedagang atau pelancong yang
awalnya hendak berdagang atau mencari sumber barang dagangan tertentu
yang khas, misalnya rempah-rempah adalah
benda yang tak mudah ditemui. Jalur perdagangan rempah-rempah yang dibeli atau ditukar
dengan barang lain ( emas, tekstil, perkakas, dan lainnya ) justru menjadi awal
pertemuan warga dunia dan menumbuhkan perokonomian dunia. Para pedagang ini
melanglang buana ke pelosok dunia yang kemudian mencoba untuk mencatat hal-hal
yang menurut merek menarik.
Dari
beragam tulisan yang ada tampaknya tulisan dari bangsa Eropa yang terekumentasi
dengan baik. Namun, tulisannya masih belum cukup objektif, maka menimbulkan
banyak pemikiran yang jika diperhatikan saat ini amat mengandung makna
negative. [3]
Dalam
penulisan catatan-catatan ini, orang Eropa lebih melihat bahwa masyarakat yang
mereka lihat ā tidak sama dengan diri mereka ā. Orientasi yang melihat keluar
inilah yang di kemudian hari oleh Summer ( 1906 ) disebut sebagai
etnosentrisme, yakni merasa kelompoknya lebih baik daripada kelompok lainnya.
Orang Eropa yang merasa dirinya lebih baik mulai mereka-reka apa yang tengah
mereka hadapi. Maka kemudian timbullah tiga sikap orang Eropa terhadap bangsa
lain, yakni: bangsa asing tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai manusia
bahkan dipertimbangkan untuk masuk dalam
kategori iblis. Namun pada posisi ini, sebagian dari orang Eropa justru merasa
bangsa lain masih murni, banyak yang
masih tampil apa adanya. Oleh karena itu, bangsa ini kemudian disebut sebagai
primitive, yakni masih murni.
Fase
kedua dimulai saat pemikiran bahwa masyarakat non-Eropa memang masih dianggap
murni ( primitive ). Berangkat dari kemurnian tadi, mulai diselidiki bagaimana
sosok Eropa dan bangsa non-Eropa dilihat. Isu ini kemudian dicoba untuk dijawab
melalui teori evolusi manusia, bahwa perkembangan manusia adalah linear,
sehingga masyarakatnya pun demikian. Artinya, masyarakat non-Eropa yang disebut
sebagai primitive merupkan masyarakat yang masih sederhana yang secara perlahan
akan berevolusi, sehingga pada suatu saat akan menjadi masyarakat Eropa. Tidaklah
mengherankna jika kemudian bangsa Eropa kemudian melihat bangsa lain yang
primitive tadi sebagai sisa dari kebudayaan masa lalu.
Oleh
Koentjaraningrat ( 1991 ), fase kedua ini merupakan upaya masyarakat Eropa
untuk mempelajari manusia dan berkembang menjadi masyarakat, kebudayaan
masyarakat, dan kebudayaan primitive dengan maksud untuk mendapatkan
tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran manusia.
Fase
ketiga dimulai ketika Eropa berhasil memantapkan kekuasaan di Asia dan Afrika.
Fase ini menjadi fase penjajahan tradisional menggunakan sumber daya manusia
dari negeri penjajah untuk bekerja di negeri jajahan. Semuanya bekerja
mengendalikan daerah jajahan. Namun dalam perkembangannya, kebutuhan sumber
daya manusia yang meningkat membuat para penjajah mulai mempertimbangkan untuk
memperkerjakan tenaga yang berasal dari masyarakat jajahannya. Namun, tetap
dengan tujuan yang sama, mengendalikan daerah jajahan.
Jadi
pada fase ini kehidupan masyarakat terjajah mulai berubah. Mempelajari
masyarakat jajahan bukan didasari oleh keinginan untuk memajukan mereka, tetapi
guna mempertahankan pola hubungan yang
ada saat itu, yakni penjajah-terjajah.
Fase
keempat ditandai dengan perkembangan pengetahuan yang semakin luas. Beragam
penemuan baru dan perkembangan sosial, politik, ekonomi, pertahanan, ddan
keamanan dunia berubah seiring waktu.
Setidaknya kondisi dunia pada saat itu adalah berrakhirnya Perang Dunia
II yang memberi banyak hal baru terhadap masyarakat.
Pada
beberapa bagian tertentu didunia mulai
merasakan ā hilangnya masyarakat primitive ā. Hilang yang dimaksud adalah
punah, tetapi kemajuan, masyarakat yang tadinya belum semaju bangsa
Eropa/Amerika, perlahan menyamai mereka dan bahkan menjadi mirip dengan mereka.
Pada fase ini, penelitian kemasyarakatan memiliki dua tujuan (
Koentjaraningrat, 1991 ). Tujuan akademik adalah mencapai pengertian tentang
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna bentuk fisiknya,
masyarakatnya , dan kebudayaannya. Berdasar hal ini, penelitian antropologi
mulai digunakan oelh warga sendiri yang melihat melihat dirinya sendiri.
Penelitian dimulai dengan fisik ( misalnya, mengetahui beda organ tubuh
terrtentu dari tiap masyarakat ). Selanjutnya, bagaimana masyarakatnya yang
pada akhirnya merujuk pada kebudayaannya.
Tujuan
praktisnya adalah mempelajari manusia dalam aneka warna masyarakat suku-suku
bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa tersebut ( Koentjaraningrat, 1991
). Berangkat dari tujuan praktis ini, banyak kegitatan kemasyarakatan yang
menggunakan dasar piker antropologi sebagai acuan. Kegiatan-kegiatan
pembangunan mulai mengacu pada kepentingan masyarakat, tidak semata dari arah
pemerintah atau pihak luar yang membantu pembangunan masyarakat.[4]
Fase
terakhir merupakan hal menarik di era millennium baru. Saat ini, dunia tengah
mengecil dalam arti konotatif saat masyarakat dunia tidak lagi terkungkung di
daerahnya. Salah satu produk kebudayaan yang menjadi perrcepatan pada fase
memungkinkan keterbukaan dan percepatan perubahan masyarakat.
D . KONTRIBUSI ILMU-ILMU
Pola
piker individu,kebudayaan, dan masyarakat berusaha melihat manusia dengan
segala perbedaannya, berani menghargai perbedaan, baik dalam tataran ide maupun
bentuk. Manusia bukan sekedar objek atau subjek, tetapi sesuatu yang utuh dan
mampu berkembang sesuai situasi dan kondisi. Tidakkah mengherankan jika
kemudian terjadi persinggungan dengan ilmu lain.
1.
Antropologi
Mendefinisikan
antropologi juga merupakan petualangan tersendiri. Antroppologi berasal dari
kata anthoropos yang berarti manusia dan logos yang berarti ilmu. Secara garis
besar antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia. Ini sama saja dengan
ilmu-ilmu lainnnya yang juga mempelajari manusia, seperti sosiologi, psikologi,
ekonomi, dan sebagainya. Dampaknya adalah antropologi pada akhirnya menyentuh
semua bidang dan kajian pada manusia. Seperti yang dikatakan oleh Kottak (
2004, 2006 ) bahwa antropologi merupakan studi tentang umat manusia yang
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan tingkah
lakunya dan untuk memperoleh pengetahuan lengkap tentang keanekaragaman
manusia.
Kita
diajak untuk memahami manusia dalam konteksnya, khususnya pada ruang dan
waktunya. Tidaklah dapat dibandingkan manusia pada satu waktu ( era ) dengan
manusia diwaktu yang berbeda, atau tidaklah dapat dengan mudah membandingkan
manusia diruang ( lingkungan ) yang juga berbeda. Dengan cara ini, akan
tercapai pengertian dan pemahaman manusia seutuhnya.[5]
Upaya
diatas memberikan pemahaman bahwa antropologi mempelajari manusia sebatas yang
sudah lalu ( misalnya, mempelajari fosil ). Ia juga mempelajari manusia saat
ini lengkap dengan ruang dan konteksnya dan juga membicarakan masa depan
manusia.
2.
Sosiologi
Setidaknya
ada dua ilmu yang amat berkontribusi terhadap pemahaman individu, kebudayaan,
dan masyarakat, yakni sosiologi dan psikologi. Hal menarik dari ilmu ini adalah
adanya area antropologi yang amat lekat dengan sosiologi, yakni antropologi
budaya ( cultural anthropology ). Sosiologi merupakan studi tentang tingkah
laku sosial dan kelompok manusia. Fokusnya adalah pada pengaruh sosial, pada
sikap dan tingkah laku, dan bagaimana masyarakat mengubah dan membangunnya (
Schaefer dan Lamn, 1994 ).
Persinggungannya
adalah ketika yang diteliti adalah hubungan-hubungan sosial, organisasi, dan
tingkah laku. Namun, perbedaan yang mencolok dari keduanya adalah pada jenis
masyarakat. Sosiologi ( pada awa kelahiran ) lebih lekat dengan masyarakat
industry dan barat ( western ), sedangkan antropologi cenderung ke masyarakat
nonindustri. Perbedaan lainnya adalah ketika melakukan penelitian, sosiologi lebih
sering menggunakan metode kuantitatif dengan alat kuesioner.
3.
Psikologi
Lagi-lagi,
antropologi budaya bersinggungan dengan ilmu lain, yakni psikologi. Psikologi
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan
proses-proses mental. Dalam memahami individu, masyarakat, dan kebudayaan,
psikologi terletak dalam area persinggungan antara antropologi budaya dan
psikologi yang disebut psikologi antropologi. Bidang ini tertarik dengan studi
variasi psikologi secara lintas budaya. Hal yang cukup kuat diperrhatikan
psikologi antropologi adalah pola pengasuhan anak ( yang nantinya berrkembang
menjadi isu kepribadian moral, karakter nasional ). Didasari pemikiran bahwa
setiap masyarakat mempunyai pola yang berbeda,
sehingga akan menghasilkan kepribadian seseorang yang berbeda antar
budaya.
Penelitian
yang terkenal tentang pola asuh adalah penelitian tentang universitas teori
Sigmund Freud ( pendiri aliran psikoanalisis ) tentang Oedipus complex ( rasa
cinta anak lelaki terhadap ibunya, sehingga membenci ayahnya ) yang dilakukan
oleh Bronislaw Malinowski ( 1927 ). Penelitian ini dilakukan pada kelompok
masyarakat yang tinggal di kepulauan Tobrian ( dekat Papua Nugini ). Hasilnya
amat berbeda, masyarakat Tobrian menghasilkan hubungan ayah-anak dengan
berdasar struktur otoritas, bukan masalah cemburu seksual. Akhirnya, Malinowski
dan rekan-rekan antropologi percaya bahwa kondisi psikologis seseorang amat
bergantung pada konteks budayanya.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna.
Untuk memahami pengertian manusia, kita diajak untuk memahaminya melalui empat
sudut pandang. Yaitu melalui segi susila, melalui segi agama atau religious,
melalui segi interaksi sosial, dan keempat melalui kebudayaan. Manusia
berkumpul akhirnya berkembang menjadi masyarakat. Dan dalam masyarakat itu
tumbuhlah kebudayaaan yang berbeda antar masyarakat lainnya.
Ada beberapa cabang ilmu untuk mempelajari manusia,
yaitu:
1. Antropologi
2. Sosiologi
3. Psikologi
DAFTAR PUSTAKA
Saifuddin Fedyani Achmad, Antropologi Kontemporer, ( Jakarta : Kencana, 2005 )
Meinarno Eko, Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat, ( Jakarta : Selemba
Humanika, 2008 )
http://robertusbeny.blogspot.com/2012/01/pengertian-manusia.html
[1] Achmad Fedyani Saifuddin, Antropologi Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2005, Hal: 16
[2] Eko A. Meinarno, Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat,
Selemba Humanika, Jakarta, 2008, Hal: 5
[3] Eko A. Meinarno, Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat, Selemba
Humanika, Jakarta, 2008, Hal : 7
[4] Eko A. Meinarno, Manusia
Dalam Kebudayaan dan Masyarakat, Selemba Humanika, Jakarta, 2008, Hal: 10
[5] Achmad Fedyani Saifuddin,
Antropologi Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2005, Hal: 42
Komentar
Posting Komentar