ASAL-USUL ORANG ACEH
Aceh terletak dibagian paling utara pulau Sumatra
dan paling barat bagi kepulauan Nusantara. Diperhatikan dari peta yang antara lain
seperti digambar oleh sarjana Van Heekeren dalam bukunya yang turut
memperhitungkan pernah terjadi kekeringan laut dan selat pemisah Sumatera,
Jawa, dan Kalimantan dengan tanah besar Asia dimasa Gunung Es dalam zaman-zaman
purbakala, maka terlihat letak Aceh ketika itu merupakan tanjung yang
didampingi oleh teluk lebar sampai kemuara sungai Iriwadhy, Birma. Dibagian
lain, ketimur Aceh terlihat kawasan yang menungkinkan dapat dilakukan
perpindahan secara berjalan darat bagi makhluk purba yang belum mencapai
kemampuan mangerungi laut. Setelah Sumatera, Jawa dan Kalimantan terpisah dari
tanah besar Asia , maka disekitar masa 10.000 tahun sebelum Isa tampillah di
Indonesia jenis manusia awal yang sempurna ( Homo Sapiens ). Sisanya berupa
tengkorak (fosil) dijumpai di Wajak, dekat pantai selatan Jawa Tengah.[1]
Di Aceh, zaman prasejarah hanya dapat dimulai dari
zaman batu pertengahan. Dr.H.Kupper mencatat adanya dijumpai batu-batu bergosok
sebelah pada empat tempat evakuasi di Aceh: tiga dibagian Aceh Utara, yaitu di
Krueng Geukueh, di Bukit Pangoi, di Kandang, dan yang satu lagi di Aceh Timur
yaitu diantara Kuta Binjai dengan Alue Merah.[2]
Penemuan artefak dibagian Indo-Cina diantaranya di
Bascon dan di Hoa Binh (Bascono-Hoabinhian) diperhitungkan bahwa
kawasan tersebut merupakan tempat asal pendukung kebudayaan zaman batu yang
berkelana kebagian selatan (Muang Thai, Semenanjung Melayu termasuk Aceh ).
Juga dengan adanya ditemui bukit karang (sisa makanan) dan beberapa perkakas yang
tertimbun sepanjang pantai dari Medan hingga ke Aceh Timur. Mereka ditandai
oleh warna kulit menghitam, rambut agak keriting, hidung pesek, dan badan
sedikit pendek. Di Srilangka ciri-ciri pendukung kebudayaan tersebut dikenal
dengan orang Vedda. Pendukung kebudayaan yang sama dikenal di Malaysia dengan
orang-orang Senoi dan Yakun, di Indonesia dengan orang Sakai, Kubu, Mentewai,
Enggano, dan orang Toala di Sulawesi. Didekat Melbourne Australia ditemukan
tengkorak yang diberi nama Keilor. Dari penyelidikan, ternyata ia nenek moyang
penghuni Australia asli yang kini memencil. [3]
Demikian semua dari pendukung kebudayaan tersebut
yang kemudian bersebar dikepulauan Indonesia, Australia, dan Melanesia di
seragamkan kejenis Veddoid (menurut nama orang Vedda di Srilangka) dan jenis
Australia Melanesoid. Di Aceh dikenal juga suatu golongan primitif yang
memencil dipedalaman Sagi XXII atau ditempat lain diperkenalkan dengan nama
orang Manteue (Mantra) . Dr. Roland Braddell memasukkan orang Mantra ini
kegolongan orang Yakun. [4]
Kehadiran zaman neolitikum menggantikan zaman
mesolitikum di Asia Tenggara diperkirakan berawal sekitar 2500 tahun atau
paling lambat 1000 tahun sebelum Isa. Zaman ini ditandai dengan munculnya jenis
bangsa yang disebut Melayu Tua. Ini adalah golongan orang-orang Melayu murni.
Sekitar tahun 300 sebelum Isa muncul pula golongan Melayu Muda yang ditandai
oleh kecerdasan terutama dalam pengetahuan menukangi alat-alat dari bahan
logam. Golongan Melayu Tua kini dikenal berketurunan orang Batak, orang Nias,
orang Gayo, orang Alas, orang Toraja dan lain-lain. Dalam hasil penyelidikan
belakangan diketahui bahwa penduduk asli di Aceh Besar berketurunan atau mirip
dengan orang Batak. Sedikit banyak dapat diperkirakan merekalah golonyan Melayu
Tua yang tidak begitu jauh menyingkir kepedalaman ketika golongan Melayu Muda
datang ke menjelang abad Masehi ke Aceh dan menduduki pantai-pantai. Orang
Batak ini juga mirip sekali dengan orang Batak yang sudah berada di pedalaman
Tapanuli. Perhitungan selanjutnya ialah, penghuni yang dianggap terasing itu
memang datang dari tanah Batak tidak lama setelah pemerintahan Islam di Aceh
meluaskan pengembangannya keluar daerah itu. dalam pemerintahan Sultan Alaiddin
Al-Akbar (1537-1571 M) diungkapkan telah diaturnya sistem pembagian suku dalam
mengidentitaskan peranan kegotong-royongan masing-masing dan demi bakti mereka
kepada penguasa. Untuk golongan suku Batak ditandai dengan nama suku Leh Ratue
(Tiga Ratus). Van Langenmencatat bahwa tempat asli mereka adalah di Lampagar
(VI Mukim). Dalam masa Sultan tersebut diketahui terjadinya ikhtiar
pengembangan wilayah Islam sampai ke Tanah Batak.[5]
Jadi, penduduk Aceh terdiri dari orang Arab, Persia,
Batak, Turky, dan Mante yang jumlahnya sedikit sekali dan tinggal dekat Lam No
dan mempunyai bahasa sendiri.[6]
ASAL-USUL DAN
PEMBAGIAN KAWOM
Satu kawom artinya adalah semua mereka yang apabila
ditelusuri garis keturunannya melalui garis bapak, bermuara pada satu orang
laki-laki yang menurunkan mereka. Dan sungguh pun garis tersebut tak dapat
ditelusuri secara jelas (hanya sedikit orang Aceh yang dapat menemukan garis
keturunannya lebih dari 3 generasi ke belakang) orang masih menyebut dirinya
tergolong dalam satu kawom tertentu, selama mereka masih merasakan bahwa mereka
berasal dari satu kakek melalui garis keturunan bapak.[7]
Dibawah pemerintahan Alauddin Al Kahar (1530-1552)
pembagian masyarakat Aceh pada saat itu dikenal dengan sukee (suku) atau kawom.
Orang-orang Mante-Batak asli merupakan sukee Lhee Reutoh, orang-orang Hindu
kaom Imeuem Peut, merupakan orang-orang yang datang dari berbagai tempat asing
dan yang tinggal menetap disebut kaom Tok Batee dan terakhir muncul kaom Ja
Sandang (kaom penyandang), yaitu kaom yang suka menyandang hadiah /pemberian
kepada Sultan.[8]
Sejauh ini bagaimana pun sudah pasti, bahwa sejak
dahulu, tiga dari empat kawom itu, walau digabung sekalipun, dalam jumlah dan
kekuatan akan tetap kalah dari yang ke empat dan oleh karena itu sedikit banyak
lalu bersatu dalam oposisi menghadapi yang ke empat. Melalui penyatuan ini dan
mungkin juga disebabkan oleh keadaan politik ketika itu yang sifatnya hanya
dapat kita duga-duga sekarang, ke tiga suku ini' telah berhasil mempertahankan
untuk diri mereka sendiri posisi-posisi yang tinggi serta menjauhkan saingan
mereka dari kedudukan itu, semua ini terjadi dalam suatu masa peralihan dari
suatu pembagian sistim genealogis atau patriarkal ke sistim teritorial di Aceh.[9]
Dengan demikian tiga suku yang bergabung itu dapat menjaga keseimbangan
kekuatan, bahkan mereka dapat mencapai kedudukan yang menguntungkan, tetapi
sesungguhnya toh hanya setelah mereka dapat mengalihkan pertentangan dari
suasana kawom ke suasana yang lain.
Sementara suku-suku Lhee reutoih, Cut (juga dikenal
sebagai Ja atau To), Sandang dan To atau Ja Batee semuanya berhasil memasukkan
anggotanya menjadi keluarga kepala wilayah atau uleebalang, atau juga menjadi
pejabat tinggi di ibukota kerajaan, tak seorang pun dari suku Imeum Peuet
mencapai kedudukan lebih tinggi dari pada jabatan kepala Mukim. Berikut adalah
sedikit asal-usul keempat kawom tersebut :
1. Lhee Reutoih
artinya Tiga Ratus, jelas suatu nama agak aneh untuk suatu unit genealogis.
Mungkin boleh diartikan sebagai 300 keluarga atau adanya 300 pria pendekar yang
pada mulanya dimaksudkan dengan pemberian nama tersebut, dan boleh jadi juga
yang dimaksud di sini adalah suatu federasi di jaman kuno, muncul sebagai suatu
kebutuhan umum atau ketika terjadi konflik, kemudian tetap tinggal bersatu dan
bertambah jumlahnya, terutama atau kalau tidak karena perkembangan alami
semata.
2. Cut, Ja atau
To Sandang. Sebagaimana kita ketahui, Ja atau
To berarti nenek moyang. Ke dua sebutan ini, seperti eumpĆØe (bah. Melayu: empu)
juga dilekatkan pada barang yang dilambangkan sebagai orang, misalnya saja
pohon-pohon yang keramat, sumur, batu karang atau jurang; perlu dicatat bahwa
pengeramatan terhadap benda-benda tersebut berlangsung sejak jaman penyembahan
berhala, tetapi di daerah ini ternyata bertahan walau ada pengaruh kuat dari
Islam. Cut sebenarnya berarti kecil. Suku kata ini juga dipakai untuk awalan
nama anak-anak dan (paling tidak di jaman lebih kemudian, ditaruh di depan nama
pria atau wanita terkemuka). Sandang sesungguhnya berarti membawa atau
menyandang sesuatu di bawah lengan tergantung pada tali atau pengikat melalui
bahu, suatu kata yang kadang-kadang dipakai sebagai nama pribadi seorang
laki-laki. [10]
Van Langen pernah juga menceritakan tentang suatu
legenda yang mengungkapkan bahwa nama suku ini pada mulanya adalah nama orang
dari Lampanaih dari XXII Mukim, yang menurut hikayat setiap tahun
mempersembahkan kepada Sultan Aceh, sebuah tabung bambu penuh berisi tuak
sebagai tanda setia. Ia membawanya dengan disandang di bahu. Ada sebuah legenda
lain yang pernah ada, mungkin sama-sama
tak dapat diandalkan dari segi sejarah, tetapi tersebar lebih luas di
lingkungan orang Aceh, dan sering digunakan untuk menjelaskan tentang adat yang
masih bertahan sampai tahun-tahun kemudian pada kesempatan penobatan raja-raja
baru di Aceh. Menurut hikayat itu salah seorang dari sultan-sultan Aceh konon
terpaksa pergi sendiri untuk mempertahankan kekuasaannya di daerah Pidie. Rute
perjalanannya harus melintasi Lampanaih di XXII Mukim. Di tempat ini ia sangat
kehausan, tetapi tak seorang pun membawakan untuknya sesuatu untuk pelepas
dahaga; sampai akhirnya datang seorang lelaki dari kalangan rakyat jelata yang
memberinya susu dari dalam tabung (pacho) yang disandangnya di bahu sebagaimana
dilukiskan di atas.
Sultan ini merasa begitu berterima kasih sehingga ia
mengundang lelaki tadi untuk datang kepadanya kelak jika perang usai dan Raja
telah kembali ke Dalam, karena ia ingin sekali memberikan penghormatan sebagai
tindakan balas budi. "Tetapi bagaimana" demikian lelaki tua itu
"seorang hina seperti saya ini akan diingat sebagai orang yang membantu
Baginda Raja melepaskan dahaga dan bagaimana saya dapat diperkenankan memasuki
Dalam?" Jawab Sultan ketika itu: "Anda harus melilitkan sehelai daun
kelapa yang masih berwarna putih di sekeliling kepala anda sebagai tanda
pengenal dan hendaknya anda menyandang tabung bambu di bahu seperti sekarang
ini". Kemudian hari Ja Sandang memang melakukan apa yang dipesankan
kepadanya itu, dan kelak ia serta ahli warisnya selalu dapat menikmati segala
perlakuan istimewa di lingkungan istana.[11]
3. Ja atau Tƶ Batee,
yakni Nenek Moyang atau Kakek Batu. Mungkin telah dapat diduga bahwa kelompok
sub suku ini menganggap individualitas mereka terwujud dalam pemujaan mereka
terhadap batu-batu keramat. Penamaan kaom ini dilihat pada keadaan, bahwa suatu
waktu suku ini berhasil menemukan "cukup batu". Pertama-tama arti
sebenarnya dari "to" adalah "datang" dan bukan
"cukup". Kecuali itu, perkataan "to" dapat juga berarti
singkatan dari "Dato", yang sebagaimana "Ja" berarti
"nenek moyang" sehingga suku t ermaksud sering disebut "Ja
Batee" atau "To Batee".[12]
4. Imeum PeĆ¼et
atau Empat Imam, sebagaimana dapat dilihat
merupakan sebuah nama yang sangat modern, bila dibandingkan dengan nama suku
nomor 2 dan 3. Tampaknya satu petunjuk, bahwa suku atau kelompok sub suku ini
muncul atau dibentuk di bawah kepemimpinan empat kepala yang disebut imam. Perlu
diketahui bahwa jabatan imam berdiri
sama sekali terpisah dari oraganisasi kawom. Di Aceh terdapat imeum-imeum yang
memimpin pendidikan keagamaan namun tak memperoleh pangkat apa pun di
masyarakat. Selanjutnya terdapat juga imeum-imeum yang memegang posisi sebagai
kepala daerah (mukim), suatu jabatan yang menurut maksud si penguasa yang
menciptakannya, tentulah ada hubungannya dengan bidang keagamaan, tetapi
ternyata telah turun derajatnya menjadi suatu jabatan yang ingin mewujudkan
kekuasaan duniawi murni semata-mata. Kedua jabatan baru disebut ini tampaknya
tidak menyarankan pembagian atau pemberian nama dari suatu sukĆØe.[13]
FUNGSI KAWOM DALAM
MASYARAKAT
Pembagian menjadi kawon-kawom, sungguhpun
pada mulanya tidak berdasarkan landasan ginealogis, ternyata kemudian
memperoleh arti ginealogis karena pengembangan setiap kawom pertama-tama terjadi
melalui pembiakan alami dan terutama melalui garis keturunan bapak. Sudah pasti
pembagian ini tidak teritorial, karena tak perduli di mana seseorang memilih
untuk bertempat tinggal, ikatan dengan kawom asalnya tetap tak akan terputus.
Kita juga dapat menyimpulkan, bahwa kawom-kawom itu
secara teritorial sedikit banyak dapat dibedakan dari posisi mereka, seperti
halnya pada suku-suku bangsa di Israel atau Bedouin di Arabia, baik dulu maupun
sekarang. Memang, naluri untuk saling membantu yang merupakan faktor terpenting
pada waktu pembentukan kawom, sangat erat berhubungan dengan kesamaan tempat
tinggal. Penggabungan terutama mempunyai tujuan untuk bertahan terhadap bahaya
yang mengancam dari pihak kelompok lain, dan sudah barang tentu orang pun tak
akan tinggal bersama dengan seorang musuh. Sisa-sisa dari kebiasaan sekitar
pemisahan antar sub suku yang sering ditemui di jaman kuno, masih dijumpai pula
dalam ketentuan adat yang sangat sering dilanggar namun dalam teori tetap
dipegang teguh, misalnya mengenai diijinkannya perkawinan antara anggota suku
yang bergabung, antara anggota suku 1,2 dan 3, tetapi tak diperbolehkan antara
salah satu dari 3 suku yang bergabung dengan anggota Imeum Peuet. [14]
Seandainya para penguasa teritorial berhasil
sepenuhnya dalam melakukan tugas mereka, maka mungkin larangan seperti baru
disebutkan tadi telah kehilangan seluruh kekuatannya. Memang, apabila kawom
terpaksa hidup damai berdampingan satu sama lain sementara pertentangan antara
mereka harus diputuskan oleh pihak ke tiga, sesungguhnya tak ada tempat untuk
suatu pemisahan sosial yang lagi pula bertentangan dengan ajaran Islam. Namun
demikian adalah sama pastinya, bahwa pemisahan seperti itu jauh lebih sering
terjadi pada masa sebelum para uleebalang dan kepala yang lain memerintah
secara merata dan menyeluruh tanpa membuat perbedaan antar kawom.
Perkawinan
secara bebas antara anggota ke tiga kawom yang bergabung tentu saja telah
dimulai dari saat mereka membentuk federasi. Tanpa terlalu banyak harus
mengkhayal, sekarang pun orang dapat menggambarkan apakah konsekuensi aneh dari
pembauran antar kawom tersebut, apabila pembagian kawom masih mengandung makna
yang sebenarnya. Sekarang kita telah melihat bahwa larangan adat seperti yang
telah disebutkan sangat sering dilanggar
orang. Sekali dinding pemisah antara dua sub suku diruntuhkan, suatu rasa
pertalian tumbuh di antara mereka tanpa mempedulikan lagi bahwa yang satu
termasuk suku Imeum Peuet dan yang lain adalah anggota salah satu dari tiga
kawom yang bergabung. Semua ini tampaknya akan berjalan lancar, selama tak
terjadi apa-apa yang mengganggu ketenteraman antara kawom-kawom itu.
Akan tetapi, jika misalnya sampai timbul dendam
antar dua pihak dan tak dapat dipecahkan secara kekeluargaan, misalnya
sebagaimana sering terjadi, apabila suatu bila secara berangsur-angsur makin
menjadi tajam dan dua pihak yang terlibat terus-menerus memperlebar jurang di
antara mereka dengan tindakan perampokan dan pembunuhan? Dalam situasi
demikian, kadang-kadang kita akan melihat seorang pemuda berperang melawan kawom
ibunya, melawan paman-pamannya dan saudara sepupunya, karena ia termasuk anggota
suku Tok Batee dan mereka anggota Imeum Peuet.[15]
Atau, inilah kasus dua orang wanita bersaudara kandung yang
keluarganya termasuk suku To Batee; seorang dari dua bersaudara kawin dengan
pria anggota Imeum Peuet (jadi telah melanggar ketentuan yang ada) sementara
yang seorang lagi kawin dengan pria dari Lhee Reutoih. Tempat tinggal yang
semestinya bagi suami-suami dua orang wanita tersebut, apabila mereka tak
mengabaikan isteri masing-masing, menurut adat Aceh adalah di rumah yang sama
atau paling tidak di atas pekarangan yang sama. Seandainya timbul pertentangan
antara mereka seperti kita gambarkan tadi, maka kedua ipar ini akan harus
saling menghindar atau menjauhi sebagai musuh, sampai datang waktunya hubungan
antara dua sub suku, kembali damai. Keadaan seperti ini sebenarnya bukan
sekedar hipotesa, tetapi memang benar-benar sering terjadi. Dendam antar
keluarga dapat dibedakan oleh suatu tingkat kekerasan dan sesungguhnya inilah
yang pertama-tama menyebabkan pertikaian antar suku. Jadi, kini kita dapat
mengerti segi rasional dari ketentuan dan kita juga paham bahwa di jaman dahulu
kala pengaruhnya pasti lebih besar dan dilaksanakan dengan lebih ketat.
Sementara pemisahan
sosial dalam rangka kawom lambat laun tak ada lagi, pembagian teritorial pun
telah lama menjadi masa lalu. Di daerah Dataran Tinggi anggota ke tiga kawom
tidak hidup terpisah satu sama lain ini memang sudah semestinya tetapi lebih
jauh lagi telah hidup rukun dan damai di daerah dan gampong yang sama. Kini
malah telah dianggap wajar apabila orang dari berbagai suku berkumpul di
lingkungan desa yang sama di bawah pemerintahan kepala teritorial yang sama
pula, tetapi dahulu, suatu kali hal tersebut pasti telah merupakan satu langkah
raksasa dalam proses perkembangan politik negeri tersebut.[16]
Perobahan ini
telah menghapus sistim kawom. Di Dataran Rendah dengan berjalannya waktu,sistim
tersebut telah dilupakan sama sekali. Di Dataran Tinggi sistim ini masih
memiliki arti yang besar, tetapi toh secara berangsur-angsur berkurang, kecuali
jika peristiwa tak terduga timbul, yangmenghancurkan ketertiban relatif di
daerah ini. Panglima-panglima Imeum Peuet paling terkemuka adalah mereka di VII
Mukim Ba'et, selain ini adalah mereka di Lam Leu'ot. Namun demikian di tempat
lain masih terdapat juga kepala-kepala yang berasal dari kawom yang banyak
anggotanya ini, sementara itu tiga kawom yang lain mempunyai juga panglimanya
sendiri di setiap tempat di mana anggotanya banyak. Seperti hampir semua
jabatan di Aceh, jabatan sebagai panglima kawom adalah juga turun-temurun,
tetapi perlu diketahui bahwa pemegang jabatan ini tidak boleh ambil bagian
dalam pemerintahan teritorial. Perlu juga dijelaskan bahwa untuk ke tiga kawom
yang tergabung hanya ada satu orang panglima, sehingga di mana salah satu dari
tiga kawom telah mempunyai panglima, tak akan diangkat lagi rekannya dari dua
kawom yanglain, dan panglima dimaksud. mengurus kebutuhan tiga kawom sekaligus.
Suatu "hutang darah" salah satu dari tiga kawom ini sementara itu
dianggap sebagai beban dari tiga kawom bersama-sama.
Di Aceh berlaku ketentuan bahwa dendam antar
keluarga diselesaikan tanpa campur tangan penguasa teritorial, hanya dipimpin
oleh para panglima kawom, yang adalah pemimpin kesukuan dan bukan teritorial.
Pengecualian kadang-kadang terjadi juga melalui kekuasaan uleebalang yang penuh
semangat atau karena pengaruh luar biasa dari seorang ulama. Kembali di sini
akan tampak adanya rasa bersatu dan senasib sepenanggungan dalam sebuah kawom
dalam menghadapi bila, sehingga pertentangan antar keluarga atau antar sub suku
mungkin selama bertahun-tahun akan membuat dua kawom bersikap saling bermusuhan.
Tetapi jika pengaruh dari panglima kawom atau tekanan dari kekuasaan lebih
tinggi mampu menghapus dendam dan bila pihak yang dirugikan dapat dibujuk untuk
menerima uang ganti rugi, maka pihak yang dianggap bersalah yang seringkali tak
mampu untuk memenuhi pembayaran tersebut, menganggap dirinya mempunyai hak
untuk meminta dana dari orang-orang se-kawom yang berada atau apabila ia adalah
anggota dari gabungan 3 kawom, maka ia akan meminta bantuan dana dari semua
anggota kawom-kawom itu. [17]
Demikianlah kadang-kadang terjadi, seorang dari
Dataran Tinggi yang harus melunasi uang ganti rugi (diet) dan diberi waktu 1
sampai 2 tahun untuk melaksanakannya, lalu mengadakan perjalanan untuk
mengumpulkan "iuran" (co ripe). Seringkali pengumpul dana ini menuju
ke Dataran Rendah dan meminta sumbangan dari mereka yang hubungan kawomnya
dengan mereka masih dapat ditelusuri kembali. Mengenai hal ini sebaliknya warga
Dataran Rendah berpendapat, bahwa orang sekawom di Dataran Tinggi sebenarnya
suka membiasakan diri untuk menarik keuntungan dari pembunuhan yang mereka
lakukan dengan jalan mengumpulkan dana dalam jumlah berlipat ganda lebih besar
dari pada yang dibutuhkan dari orang-orang sekawom yang eksistensinya mereka
ingat hanya pada kesempatan terjepit seperti itu. [18]
DAFTAR
PUSTAKA
Snouck
Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis,
( Jakarta : Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1,
H.Badruzzaman
Ismail, Sistem Budaya Adat Aceh dalam
Membangun Kesejahteraan, ( Banda Aceh: CV.Boebon Jaya, 2013)
H.Mohammad Said, Aceh
Sepanjang Abad, (Medan : P.T Percetakan dan Penerbitan, 1980 ), cet,2.
Farid Wajdi, Aceh
Bumi Srikandi, ( Banda Aceh : Pemerintah Provinsi NAD, 2008 ), cet.1
[1] H.Mohammad
Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan :
P.T Percetakan dan Penerbitan, 1980 ), cet.kedua, hal: 1.
[2] H.Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan : P.T
Percetakan dan Penerbitan, 1980 ), cet.kedua, hal: 3.
[3] H.Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan : P.T
Percetakan dan Penerbitan, 1980 ), cet.kedua, hal : 4.
[4] H.Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan : P.T
Percetakan dan Penerbitan, 1980 ), cet.kedua, hal : 5.
[5] H.Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan : P.T
Percetakan dan Penerbitan, 1980 ), cet.kedua, hal: 8.
[6] Farid Wajdi, Aceh Bumi Srikandi, ( Banda Aceh :
Pemerintah Provinsi NAD, 2008 ), cet.pertama, hal : 38.
[7] Snouck Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis, ( Jakarta :
Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, hal: 51.
[8] H.Badruzzaman Ismail,
Sistem Budaya Adat Aceh dalam Membangun
Kesejahteraan, ( Banda Aceh: CV.Boebon Jaya, 2013), hal : 1-2.
[9] Snouck Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis, ( Jakarta :
Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, hal :
55.
[10] Snouck Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis, ( Jakarta :
Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, hal :
56.
[11] Snouck
Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis,
( Jakarta : Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, hal : 57.
[12] Snouck
Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis,
( Jakarta : Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, hal : 58.
[13] Snouck
Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis,
( Jakarta : Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, Hal : 59
[14] Snouck Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis, ( Jakarta :
Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, Hal : 60
[15] Snouck
Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis,
( Jakarta : Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, hal : 61.
[16] Snouck
Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis,
( Jakarta : Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, hal : 62.
[17] Snouck
Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis,
( Jakarta : Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, hal : 64.
[18] Snouck
Hurgronjeo, Aceh Di Mata Kolonialis,
( Jakarta : Yayasan Soko Guru, 1985 ) cet. 1, hal : 64.
Komentar
Posting Komentar