Makalah
Sejarah Islam Periode Pertengahan
Strategi
Muawiyah Bin Abu Sufyan
Dalam
Mengalahkan Ali Bin Abi Thalib
Disusun
Oleh:
Avicenna Al
Maududdy
Fitriani
Ihfatul Sea
Nurul Fadhlawi
Yuni Saputri
Unit: 01
Dosen
Pembimbing:
Drs. Anwar
Daud,M.Hum.
Universitas Islam Negeri(UIN) Ar-raniry
Fakultas Adab
Dan Humaniora
Prodi Sejarah
Kebudayaan Islam
Tahun Ajaran
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setelah
Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah yang pada akhirnya dibunuh
dikarenakan fitnah yang terjadi sesama mereka. Dan pada selanjutnya Ali Bin Abi
Thalib menjabat sebagai khalifah penerus daripada Utsman Bin Affan. Setelah Ali
menjabat sebagi khalifah lalu ia memecat Muawiyah yang pada saat itu sedang
menjadi gubernur di Syam. Selama menjadi gubernur di Syam, Muawiyah sudah
menjabat sejak menjabatnya Umar sebagai khalifah dan periode utsman dalam masa jabatannya.
Akan tetapi Muawiyah enggan dipecat oleh Ali dan meminta diselesaikan kasus kematian
utsman terlebih dahulu. Lalu muawiyah mengalungkan baju Utsman
di mimbar mesjid Damaskus dan mengajak para pendukungnya untuk meminta diprosesnya
kasus kematian utsman.
Selama Ali
dinobatkan menjadi khalifah banyak perselisihan yang terjadi termasuk pertentangan
dari muawiyah dan kaumnya. Dari sebab itu
terbentuklah kaum Khawarij yaitu kelompok orang-orang yang menentang Ali.
B.
Rumusan Masalah
Menurut dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat
dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu:
a.
Siapa Ali
bin Abi Thalib tersebut?
b.
Siapa Muawiyah
bin Abi Sofyan?
c.
Apa permasalahan
yang terjadi diantar keduanya?
d.
Bagaimana strategi
yang dilakukan Muawiyah?
C.
Tujuan Permasalahan
Dari
beberapa rumusan diatas, kita akan mengetahui tentang:
a.
Biografi Ali
bin Abi Thalib
b.
Biografi Muāawiyah
bin Abu Sofyan
c.
Permasalah yang
terjadi antara keduanya
d.
Strategi yang
dilakukan Muawiyah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ali
Bin Abi Thalib
Nama
Abu Thalib sendiri adalah Abdul Manaf Bin Abdul Muthalib ia bernama Syaibah Bin
Hasyim . Dia bernama Amar bin Abdul
Manaf. Dia bernama Al-Mughirah
bin Quraisy. Nama aslinya adalah Zaid
bin Kilab bin Murah bin Kaāab
bin Luai bin Ghalib bin Fihl bin Malik
bin Nadhr bin Kinanah. Ali bin
Abi thalib dipanggil Abu Husein
dan Abu Turab oleh Rasulullah.
Sedangkan ibunya adalah Fatimah binti Asad
bin Hasyim. Dia adalah seorang wanita Bani Hasyim
yang melahirkan Bani Hasyim.
Ali
adalah salah satu dari sepuluh orang yang mendapat jaminan dari Rasulullah
untuk masuk syurga. Dia adalah saudara Rasulullah
pada saat terjadi muāakhat( jalinan ukhuwah di madinah) dia adalah menantu
rasulullah karena Ali menikahi putrinya Fatimah,
penghukum kaum wanita sedunia. Ali adalah satu diantara orang-orang yang
masuk islam diawal lahirnya islam. Dia adalah salah seorang ulama rabbaniyyin.
Seorang pejuang yang gagh berani. Seorang zuhud yang terkenal. Seorang orator
ulum. Dia adalah seorang salah seorang pengumpul Al-Quran.
Dan dia bacakan kepada Rasulullah.
Tatkala
Rasulullah hijrah ke Madinah, dia
memerintahkan Ali untuk tinggal di Mekkah selama
beberapa hari hingga dia mengembalikan semua barang titipan orang yang ada pada
Rasulullah kepada pemiliknya dan dia lakukan tugas itu. Ali adalah
seorang yang memiliki banyak kelebihan, selain itu ia adalah pemegang
kekuasaan. Pribadinya penuh vitalitas dan energik, perumus kebijakan dengan
wawasan yang jauh ke depan. Ia adalah pahlawan yang gagah berani, penasihat
yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi,seorang
sahabat sejati, dan seorang lawan yang dermawan. [1]
Tugas
pertama yang dilakukan oleh khalifah Ali adalah meghidupkan
cita-cita Abu Bakar dan Umar,
menarik kembali semua tanah dan hibah, yang telah dibagikan oleh Utsman
kepada kaum kerabatnya dalam kepemilikan negara. Ali juga segera menurunkan
semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Utsman bin Hanif
diangkat menjadi penguasa Bashrah Menggantikan
ibnu Amir, dan Qais bin Saāad
dikirim ke Mesir untuk menggantikan gubernur negeri itu yang dijabat oleh Abdullah.
Gubernur Suriah, Muawiyah
juga diminta meletakkan jabatan, tetpai ia menolak perintah ali. Bahkan, ia
tidak mengakui kekhalifahannya.
Oposisi
terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah,
Thalhah, Zubair. Meskipun masing-masing memiliki alasan pribadi sehubungan
dengan penentangan terhadap Ali. Mereka
sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman.
Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan
ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan
ali, dengan membangkitakan kemarahan rakyat dan menuduh Ali
sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman,
jika Ali tidak dapat menemukan dan dapat menghukum pembunuh yang
sesungguhnya.
Akan
tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali.
Pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang
penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan
mengonsolidasikan kedudukan khalifah. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah
perkara mudah, khalifah utsman tidak dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan
banyak orang dari Mesir, Iraq, dan Arab secara
langsung terlibat dalam perbuatan mareka tersebut. [2]
Seiring
perjalanannya waktu kekuatan Ali telah banyak
menurun, kelompok Muawiyah sedapat mungkin untuk merebut massa islam dari pengikut Ali.
tepat pada 17 Ramadhan 40 H, khalifah Ali
terbunuh, pembunuhnya adalah Ibnu Muljam,
seorang anggota Khawarij yang sangat
fanatik. pada tanggal 20 Ramadhan 40 H
masa pemerintahan khalifah Ali berakhir dan
di lanjutkan oleh anaknya, Hasan. namun,
tidak bertahan lama dikarenakan banyaknya pemberontakan.
B.
Biografi Muawiyah bin Abu Sufyan
Muawiyah
bin Abu Sufyan Sharkhr bin Harb bin Umayyah
bin Abdusyam bin Abdul Manaf
bin Qusai. Panggilannya Abdurrahman Al Umawi.
Muawiyah masuk islam bersama ayahnya pada peristiwa Fathu
Makkah(penaklukan kota mekkah). ikut dalam perang hunain. ia
termasuk muallaf yang ditundukkan hatinya. keislamannya sangat baik, kemudian
menjadi salah seorang penulis wahyu.
Muawiyah
meriwayatkan 163 hadits dari Rasulullah.
diantara para sahabat dan tabiāin yang mengambil hadits darinya antara lain Abdullah
bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan
lain-lain. dia orang yang cerdas. banyak hadis yang menyebutkan keutamaanya,
namun dari hadits-hadits tersebut banyak yang tidak dapat diterima( tertolak).[3]
Muawiyah
dipandang sebagai pembangun dinasti yang oleh sebagian besar sejarawan awalnya
dipandang negatif. keberhasilannya memperoleh legalitas atas kekuasaannya dalam
perang saudara di siffin dicapai melalui cara yang curang. lebih dari itu, Muāawiyah
juga dituduh sebagai pengkhianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan
islam, karena dialah yang mula-mula mengubah pimpinan negara dari seorang yang
dipilih oleh rakyat menjadi kekuataan yang diwariskan secara-turun temurun.
Muawiyah
berhasil mendirikan dinasti Umayyah bukan
hanya dikarenakan kemenangan diplomasi di siffin dan terbunuhnya khalifah Ali.
melainkan sejak semula gubernur suriah itu memiliki ābasis rasionalā yang solid
bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. gambaran dari sifat mulia Muawiyah
setidaknya nampak dalam keputusannya yang berani memaklumkan jabatan khalifah
secara turun-temurun. situasi ketika Muawiyah naik
kekursi kekhalifahan mengundang banyak kesulitan.[4]
C.
Sebab-Sebab Adanya Perlawanan Oleh Muawiyah Terhadap
Ali
Setelah adanya
pembunuhan terhadap khalifah Utsman, seluruh
keluarga Utsman. nailah kembali ke Damaskus. mereka
kemudian menceritakan peristiwa pembunuhan terhadap khalifah utsman. tidak
hanya itu, mereka juga membawa serta bukti berupa baju milik Utsman
yang penuh dengan darah dan beberapa potongan jari-jari Nailah.
sebagai salah seorang anggota keluarga Utsman,
Muawiyah tentu saja sangat terpukul dengan adanya peristiwa itu. ia
kemudian mempertunjukkan bukti-bukti itu di hadapan penduduk Syam,
sehingga membuat penduduk setempat geram dan mengutuk pembunuhan tersebut.
dendam Muāawiyah terhadap para pembunuh telah menjadikan dirinya bersikukuh
untuk tetap memegang jabatnnya. ia khawatir bila para pembunuh masih tetap
berkeliaran dengan bebas tanpa adanya suatu hukuman terhadap mereka.[5]
Tugas pertama
yang dilakukan oleh khalifah Ali adalah
meghidupkan cita-cita Abu Bakar
dan Umar, menarik kembali semua tanah dan hibah, yang telah dibagikan
oleh Utsman kepada kaum kerabatnya dalam kepemilikan negara. Ali
juga segera menurunkan semua gubernur yang tidak disenangi rakyat. Utsman
bin Hanif diangkat menjadi penguasa Bashrah
menggantikan Ibnu Amir,
dan Qais bin Saāad dikirim ke Mesir untuk
menggantikan gubernur negeri itu yang dijabat oleh Abdullah.
Gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta meletakkan jabatan, tetapi ia
menolak perintah Ali. bahkan, ia tidak mengakui kekhalifahannya.
Oposisi terhadap
khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah,
Thalhah, Zubair. meskipun masing-masing memiliki alasan pribadi sehubungan
dengan penentangan terhadap Ali. mereka
sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman.
Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah,
bahkan ia memanfaatkan peristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas
kekuasaan Ali, dengan membangkitakan kemarahan rakyat dan menuduh Ali
sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman,
jika Ali tidak dapat menemukan dan dapat menghukum pembunuh yang
sesungguhnya.
Akan tetapi,
tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali.
pertama, karena tugas utama yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang
penuh intimidasi seperti saat itu ialah memulihkan ketertiban dan
mengonsolidasikan kedudukan khalifah. kedua, menghukum para pembunuh bukanlah
perkara mudah, khalifah Utsman tidak
dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir,
Iraq, dan Arab secara
langsung terlibat dalam perbuatan makar tersebut. [6]
D. Strategi Muawiyah bin Abu Sofyan Dalam Melawan Ali bin
Abi Thalib
Konflik
antara Ali dan Muāawiyah terletak pada keyakinan Ali atas keabsahan otoritas
kekhalifahannya yang tak perlu di pertanyakan lagi dan tuntutan Muāawiyah yang
semakin meningkat atas haknya sendiri sebagai ahli waris (wali) Utsman dalam
menuntut balas atas darahnya.Lebih dari itu, klaim ini menjadi dasar tuntutan
Muāawiyah atas jabatan Khalifah.Ibn Qutaibah meriwayatkan bahwa Muāawiyah
menerima baiat dari masyarakat Suriah sebagai pengganti Utsman, tak lama
setelah Ali memangku jabatan sebagai khlifah.
Titik ā titik pertikaian itu di
ungkap dengan sangat jelas dalam sebuah surat panjang yang di tulis Ali kepada
Muāawiyah, seperti di ceritakan oleh Nashr
ibn Muzahim (213H/828M), salah seorang sejarawan paling awal tentang perang
saudara di Shiffin.
Ali
berargumentasi :
ā
Baiatku dari masyarakat Madinah tetap mengikatmu, meskipun kamu berada di
Suriah. Ini karena merekalah orang ā orang yang juga membaiat Abu Bakar, Umar,
dan Utsman. Karena itu, orang lain yang hadir tidak memiliki pilihan dalam
masalah ini dan orang yang jauh tidak berhak keberatan, karena hak Musyawarah
hanya menjadi milik kaum Muhajirin dan Anshar. Jika mereka telah menyepakati
mengangkat seseorang sebagai imam/khalifah dan menyebutkan namanya, keputusan
mereka harus di terima.Jika ada orang yang menyimpang dari keputusan mereka,
baik dengan menolaknya atau mendambakan jabatan Khalifah bagi dirinya sendiri,
mereka harus membawanya kembali.Jika orang itu menolak, mereka harus
memeranginya, karena ia tidak mengikuti jalan kaum mukminā.
Bagi banyak orang, ketaatan Ali yang
teguh terhadap ajaran agama tentang kesetaraan merupakan sebuah kekuatan
bear. Bagi yang lain, seperti telah kita
lihat, sikap seperti itu bukan hanya merupakan kebodohan, melainkan
pengkhianatan. Muawiyah memanfaatkan ketegangan ini demi keuntungan politiknya.
Selain menyadari kedudukan Ali yang tinggi dalamn muslim serta keabsahan baiat
Ali, Muawiyah juga menyadari kelemahan klaimnya sebagai penuntut balas darah
Utsman yang sah, mewakili ahli waris sah Utsman. Pertama ātama ia membuat
langkah hati āhati dengan menyuarakan
klaim ini dan kemudian menantang kekuasaan Khalifah [7]Ali.
Terdorong oleh perang Jamal oleh sebab dan akibat ā akibatnya dan oleh semakin
merosotnya dukungan terhadap Ali, Muāawiyah menjadi semakin menekan.
Muāawiyah
semakin percaya diri oleh ketaatan mutlak tentaranya di Suriah, serta dukungan
dan loyalitas masyarakat Suriah.Sebaliknya, sebagian besar tentara Ali adalah
orang ā orang semi nomadik dan independen yang tak terbiasa dengan kekuasaan
seorang penguasa yang tak boleh di bantah.Perbedaan tajam antara masyarakat
urban Suriah dan masyarakat Irak yang sangat bersikap kesukuaan di ungkapkan
secara dramatis oleh seorang bernama Al-Hajjaj ibn Khuzaimah, yang mendatangi
Muāawiyah bersamaan dengan berita kematian Utsman, dengan menuduh orang Bani
Hasyimlah yang bertamggung jawab atas kejadian itu.Al-Hajjaj konon merupakan
orang pertama yang memanggil Muāawiyah dengan amir al ā mukminin. Ia berkata :
āAku
memberi tahu anda wahai amir al ā mukminin, bahwa anda mempunyai sumber
kekuatan untuk melawan Ali, yang tidak di milikinya untuk melawan anda. Anda
memiliki masyarakat yang tidak akan berkata apapun ketika anda berbicara,
ataubertanya mengapa ?ketika anda memerintahkan sesuatu. Akan tetapi bersama
Ali terdapat orang ā orang yang berbicara ketika ia berbicara dan memprtanyakan
ketika ia memerintah. Oleh karena itu, sedikit orang yang bersamamu lebih baik
dari pada banyak orang yang bersamamnya.
Lebih
lanjut Al ā Hajjaj menegaskan bahwa, jika Ali tidak bersedia mengorbankan
Suriah demi Irak, Muāawiyah sudah cukup bahagia dengan Suriah saja.
Muāawiyah
mendasarkan haknya atas pemerintahan Suriah pada alasan bahwa ia telah di
angkat oleh Umar dan di kukuhkan oleh Utsman dan karenanya Ali tidak memiliki
kewenangan atasnya. Jarir menolak argument ini dan menjawab bahwa praktik
semacam itu jika di bolehkan akan membuat seorang penguasa tidak bisa mencabut
keputusan pendahulunya dan akan membuatnyatidan akan memiliki kekuasaan nyata.
Lebih jauh tidak terelakkan lagi hal itu mendorong pada kekacauan dan kekuasaan
yang tidak sah.Muāawiyah tidak memberikan memberikan jawaban kepada Jarir
sambil meminta waktu lebih lama lagi untuk memikirkannya.
Sementara
Jarir menunggu, diam ā diam Muāawiyah berupaya mengonsolidasikan kekuatannya.
Untuk tujuan ini, ia mengumpulkan para pemuka rakyatnya di Suriah untuk
mempertegas loyalitas mereka dan untuk melihat pendirian mereka dalam masalah
kematiaan Utsman dan tentang haknya untuk menuntut balas atas darh Utsman. Ia
berbicara pada mereka dengan mengatakan :
ā
Segala puji bagi Allah yang telah mengukuhkan tiang ā tiang Islam dan
menjadikan hokum suci sebagai bukti iman , iman yang suluhnya akan selalu
menyala di tanah suci, yang menjadikannya sebagai tempat tinggal para nabinya
dan hamba āhambanya yang saleh. Kemudian Tuhan menjadikan masyarakat Suriah
hidup di wilayah ini.Ia memperkenankan wilayah itu bagi mereka dan mereka bagi
wilayah itu. Sebab, sebab sejak azali dia mengetahui ketaatan dan nasihat
mereka yang tulus kepada para Khalifahnya yang memegang teguh perintahnya dan
melindungi agamanya dan hokum ā hukumnya yang tak boleh di langgarā.
Muāawiyah
kemudian mengingatkan orang ā orang yang berkumpul bahwa ia adalah wakil
(Khalifah) Umar dan Utsman atas mereka, bahwa ia adalah ahli waris Utsman dan bahwa Utsman telah
di bunuh secara tidak adil. Muāawiyah kemudian menuntut, Aku ingin tahu apa sesungguhnya
yang kalian simpan dalam hati kalian tentang pembunuhan Utsman. Mereka semua
membaiatnya dengan syarat ia harus menuntut balas atas darah Utsman.
Muāawiyah
semakin memperkuat peluang meraih kekuasaan dengan membujuk Amr ibn Al ā Ash
untuk menjadi sekutu dekatnya dalam perlawanan terhadap Ali.Amr adalah seorang
sahabat terhormat dari Quraisy, ahli strategi militer terkemuka dan politisi
yang lihay.Riwayat penerimaan Amr terhadap ajakan Muāawiyah kemungkinan sangat
di ragukan kebenarannya. Meskipun demikian, riwayat tersebut mengandung banyak
pelajaran, karena menggambarkan secara gamblang persepsi umum tentang Karakter
konflik antara Ali dan Muāawiya, di samping kedudukan kedua orang ini dalam
sistem nilai moral dan politik islam.
Konflik
antara Ali dan Muāawiyahtelah menimbulkan perpecahan dalam tubuh uamat muslim,
suatu perpecahan yang kemudian segera meledak dalam perang saudara yang di
kenal dengan perang Siffin.
Terdapat
dua masalah yang terkait erat dengan hal ini, yang perlu kita perhatikan yang
pertama adalah bagaimana dan kapankah Muāawiyah mulai mendambakan jabatan
Khalifah. Kedua apakah dia mengangkat haknya untuk menunutut balas atas darah
Utsman hanya sebagai dalih demi mencapai tujuan ini, ataukah memang benar ā
benar tulus dalam menuntut balas atas adar Utsman. Terkait dengan masalah ke
dua ini, Muāawiyah sebagaimana telah kita lihat, sering di tuduh telah
mengkhianati Utsman, karena ia tidak menolong ketika Utsman di kepung. Dalam
kaitannya dengan masalah pertama, yang merupakan masalah yang paling penting,
setelah terjadinya perang jamal, yang dia mengambil sikap ātunggu dan amatiā
mungkin Muāawiyah telah mempertimbangkan kesempatan dirinya untuk menaiki
jabatan Khalifah, atau paling tidak memperoleh kekuasaan mutlak atas Suriah.
Bagaimanapun,
setelah terjadi berbagai peristiwa, tampaknyaMuāawiyah mempertimbangkan paling
tidak dua scenario yang mungkin terjadi akibat oposisi aktifnya terhadap
Ali.Skenario pertama terungkap dalam sarannya kepada Jarir, utusan Ali supaya
Ali memberikan Suriah dan Mesir kepada Muāawiyah dan Ali mengambil Irak dan
Hijaz. Muāawiyah mungkin berharaqp jika Ali meninggal atau di turunkan,
otomatis dialah yang akan di pilih menjadi Khalifah. Harapan ini tampak pada
tuntutannya agar boleh terbebas dari kewajinban berbaiat kepada siapapun,
termasuk kepada Ali. Sebagaimana yang akan kita saksikan nanti, Muāawiyah
mengajukan tawaran yang sama dalam negosiasi tak langsungnya dengan Ali untuk
mengakhiri konflik Siffin.Skenario kedua
adalah sebuah perlawanan panjang untuk menumbangkan Khalifah Ali dan
menaikkan Muāawiyah ke tampuk kekuasaan.
Klaim
paling tegas dari Muāawiyah atas Khalifah di sampaikan kepada rakyat Suriah
tidak lama sebelum perang Sifffin. Muāawiyah beragumen :
ā
Katakan kepadaku, mengapa Ali bin Abi Thalib lebih layak menduduki jabatan itu
dari pada aku ? Demi Allah, aku adalah juru tulis Rasulullah. Saudariku Ummu
Habibah, putri Abu Sufyan adalah istri Rasulullah. Selain itu aku adalah
Gubernur di bawah Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Ibuku adalah Hindun
bunti Utbah ibn Rabiāah [ artinya dia berasal dari keturunan terhormat] dan
Ayahku adalah Abi Sufyan ibn Harb. Meskipun rakyat Hijaz dan Irak berbaiat
kepada Ali, rakyat Suriah berbaiat kepadaku.Rakyat ketiga wilayah ini setara
[dalam masalah kehormatan] dan siapapun dapat merebut suatu kekuatan, maka
sesuatu itu akan menjadi miliknyaā.[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat kita Tarik kesimpulan bahwa konflik antara
muawiyah dan Ali terletak pada keyakinan Ali akan keabsahan otoritas ke
khalifahanya yang tak perlu dipertanyakan lagi dan tuntutan muawiyah yang
semakin meningkat atas hak nya sendiri sebagai ahli waris(Wali) Utsman dalam
menuntut balas atas darahnya. Muāawiyah
kemudian mengingatkan orang ā orang yang berkumpul bahwa ia adalah wakil
(Khalifah) Umar dan Utsman atas mereka, bahwa ia adalah ahli waris Utsman dan bahwa Utsman telah
di bunuh secara tidak adil.
Lebih
dari itu, klaim ini menjadi dasar tuntutan Muāawiyah atas jabatan Khalifah.Ibn
Qutaibah meriwayatkan bahwa Muāawiyah menerima baiat dari masyarakat Suriah
sebagai pengganti Utsman, tak lama setelah Ali memangku jabatan sebagai
khlifah.
B.
SARAN
Kami masih merasakan banyak kekurangan dari makalah
yang telah kami susun. Untuk itu kami membutuhkan bimbingan yang lebih dari
dosen pembimbing.
Daftar
Pustaka
Al-āIsy, Yusuf, 1998, Dinasti Umawiyah, Beirut: Dar Al-Fikr.
Amin, Samsul Munir, 2014, Sejarah Peradaban Islam, Cetakan
Ke-4, Jakarta: Amzah.
As-Suyuthi,
Imam, 2000, Tarikh Khulafaā, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
As-Suyuthi, Jalaluddin, 2013, Rekam Jejak Para Khalifah, Beirut:
Dar Al-Fikr.
Jafariyan, Rasul, 2003, Sejarah Islam, Jakarta: Lentera.
---------, 2006, Sejarah Khilafah, Jakarta: Al-Huda.
Mahmoud
M. Ayob,2003, The
Crisis
of Muslim
History, Bandung: Mizan.
Yatim, Badri, 2014, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta:
Rajawali Pers.
Yuwono, Budi, 2003, Hikayah Empat Khalifah, Jakarta:
Khairul Bayaan.
Komentar
Posting Komentar