SUMANG
DALAM BUDAYA GAYO
Dalam
konsep Bahasa Gayo Sumang mempunyai makna, yaitu tidak seirama, berbeda, tidak
cocok, tidak serasi atau tidak sesuai dengan adat. Perbedaan kedua diatas
secara khusus hanya terletak dari segi derajat pelanggarannya saja, dimana
Sumang lebih berat dari pada Kemali. Menjadi beratnya Sumang karena secara umum
perbuatan tersebut tidak hanya dapat merusak kehormatan si pelaku dan nama baik
keluarganya saja, tetapi lebih dari itu dapat merusak nama baik dan kehormatan
masyarakat dan kampung di mana si pelaku tinggal.[1]
Adat
Sumang dalam masyarakat Gayo adalah adat yang mengatur tentang tata pergaulan
masyarakat dalam berinteraki dalam pergaulan. Pergaulan yang dimaksud dalam
Sumang adalah peraturan yang berbentuk larangan dalam pergauan antara laki-laku
dan perempuan bbaik muda mudi maupun
orang dewasa yang bukan muhrimnya. Tujuan dari adanya adat tersebut adalah
untuk menghindari terjadinya pergaulan yang bebas dan perzinahan. Pergaulan bebas
dan perzinahan itu dapat terjadi berawal dari kontak antara laki-laki dan
perempuan. Agama menjelaskan ājangan kamu mendekati zinaā. Masyarakat
mengkonstruksi larangan tersebut dalam adat kehidupannya yang disebut Sumang.
Menurut Ibrahim dan Hakim dalam buku Adat Gayo, Sumang terdiri dari empat macam
yang disebut Sumang opat. Empat macam perbuatan atau tingkah laku yang dilarang
dalam hukum Gayo yaitu :
1. Sumang
Percerakan.
Ialah
larangan berbicara atau mengeluarkan perkataan meliputi perkataan porno, nakal,
kata-kata yang tidak menghormati orang lain dan kata-kata kotor. Dalam tata
pergaulan Sumang Percerakan merupakan tata cara, adab, etika dan sopan santun
dalam berbicara. Dalam berbicara kita harus memperhatikan siapa orang yang
diajak atau lawan berbicara. Orang tua, guru, pemimpin jenis, sebaya, anak-anak
dan orang yang panggilannya ( tutur dalam istilah adat Gayo ) setara dengan
orang tua kita. Jadi dalam adat Gayo, etika Bahasa dalam berbicara itu harus
memperhatikan tingkatan orang atau lawan berbicara. Sebagai salah satu contoh
perbuatan Sumang Percerakan misalnya,
orang yang bukan suami istri berbicara ditempat tertentu sebagaimana layaknya
suami istri. Berbicara antara dua orang yang berlainan jenis dengan cara atau
isi pembicaraan yang tidak baik atau tidak wajar dikatakan (porno, nakal), baik
ditempat tertutup maupun terbuka,baik berrbisik-bisik ataupun terang-terangan.
Seorang anak mengatakan perkataan kotor yang tidak pantas diucapkan didepan
orang, seakan-akan ia mengerti hal ikhwal hubungan suami istri atau cerita
porno ( cerak entah sesanah ), padaha mereka masih remaja. Dan bellum pantas
membicarakan masalah tersebut. Orang tua atau orang dewasa bercerita atau
membicarakan atau membicarakan masalah porno di depan anak-anak yang belum
pantas didengarnya, atau memeluk, mencium suami-istri didepan anak-anak atau
didepan orang lain walaupun suami istri yang sah seperti banyak ditayangkan
oleh televisi. Perkataan yang termasuk Sumang ialah berkata kasar, sombong,
angkuh, dalam Bahasa Gayo disebut bercerk
sergak atau jis dan jengkat ( tidak sopan dan hormat ), nada
suara yamg tinggi saat seorang anak berbicara dengan orang tuanya dan menentang
tatapan wajahnya, demikian juga dengan seorang pemimpin, guru dan orang yang
dipandang terhormat, menurut budaya Gayo
telah termasuk perilaku Sumang, tidak hormat dan tidak menghargai serta tidak
memuliakan orang yang seharusnya dihormati, dalam istilah budaya Gayo dinamakan
jis. Dalam pepatah Gayo menghormati
dan mengargai itu diungkapkan dalam kata petuah
taāzim kin reje demu denie, taāzim
kiin guru demu ilmu (artinya, patuh kepada raja dapat dunia, patuh kepada
guru dapat ilmu ).[2]
2. Sumang
Pelangkahan
Ialah
larangan melakukan perjaanan diantara dua jenis manusia yang berlainan jenis
yang bukan muhrimnya baik ditempat ramai apalagi ditempat yang sunyi dan sepi dari penglihatan orang ramai. Adat
Sumang ini bertujuan untuk menjaga batas pergaulan khusus kepada manusia yang
berlainan jenis selain muhrim. Hal ini
dimaksud supaya manusia itu terhindar dari perzinahan, permerkosaan, dan pelecehan seksual serta
menjaga nama baik keturunan. Dalam budaya masyarakat Gayo, seorang gadis bahkan
wanita dewasapun (sumang) dilarang dan tabu berpergian yang sunyi dari
pandangan orang banyak, apalagi bersama lawan jenis yang bukan muhrim, bahkan
dengan muhrim yang sebaya pun dianggap tabu, atau dalam budaya adat Gayo tabu
itu disebut kemali (hal yang dilarang ).
3. Sumang
Kenunulen
Ialah
larangan terhadap seseorang duduk atau tinggal dengan wanita yang bukan
muhrimnya. Sumang Kenunulen ini juga
bertujuan melarang dan mencegah manusia yang berlawanan jenis duduk-duduk
bersama disuatu tempat atau rumah yang tidak ada orang lain besamanya. Bahkan
jika ada sepasang laki-laki dan perempuan yang belum menikah tinggal bersama di
tempat yang sepia tau dalam rumah berdua dan jika diketahui oleh masyarakat
setempat, mereka harus ditangkap dan diserahkan kepada pemerintah setempat
untuk dimintai keterangan. Disamping itu, Sumang
Kenunulen ini juga berlaku untuk pergaulan bersama. Seorang yang lebih muda
tidak layak duduk berpapasan atau tempat duduknya lebih tinggi dengan orang
yang lebih tua seperti bapak, ibu, guru, dan orang yang setara dengan mereka.
Yang
termasuk Sumang Kenunulen ialah
seorang suami atau istri orang lain masuk kerumah seseorang yang suami atau
istrinya tidak ada dalam rumah tersebut, seorang menantu perempuan atau anak
perempuan tinggal bersama bapaknya dalam rumah tanpa ada ibu atau ornag lain
juga dianggap Sumang karena dikhawatirkan terjadi hal yang tidak diinginkan.
Selanjutnya seorang pemuda dan pemudi secara sengaja bercinta disuatu tempat
yang tidak dilihat oleh orang lain. perbuatan ini sangat dilarang oleh agama
karena hal ini termasuk haram hukumnya menurut agama Islam. Yang terakhir,
seorang anak atau orang yang lebih muda duduk di tempat yang biasa diduduki
oleh orang tua atau orang yang terhormat, atau posisi duduknya lebih tinggi
atau sejajar dengan orang tua atau orang yang lebih terhormat. Hal ini dilarang
karena termasuk etika dan akhlak memuliakan orang tua dan orang yang lebih tua
dan terhormat.
4. Sumang
Penengonen
Ialah
larangan melihat aurat, memperlihatkan aurat atau memandang secara birahi. Hal
ini dianggap tabu karena dikhawatirkan dapat terjurumus dalam kemaksiatan.
Secara psikologis pandangan yang bermuatan nafsu birahi.cenderung melahirkan
niat untuk memenuhinya. Untuk menghindari hal tersebut adat memagari manusia
agar tindakannya tidak menjurus ke hal-hal yang dilarang agama. Contoh Sumang
Penegonen adalah : melihat wanita dengan nafsu dan sebaliknya wanita
memandang laki-laki dengan nafsu juga, melihat dengan cara marah, mata tajam (
mujoreng ) dan menatap muka kepada orang tua atau orang yang lebih tinggi
tuturnya.
Sumang Penengonen
menghendaki pendukungnya terhindar dari jalan yang dapat merusak harkat dan
martabatnya sebagai manusia yaitu dari pelecehan seksual dan penyimpangan
sosial. Untuk mewujudkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat maka dbuat
aturan melalui adat yang di selaraskan dengan ajaran Islam.
Kesemua
jenis Sumang diatas merupakan jalan-jalan yang dapat mendekatkan dan
menjerumuskan seseorang kepada kemaksiatan atau perzinahan, pemerkosaan dan
pelecehan seksual. Adat tersebut juga merupakan rambu-rambu untuk menghindari
seseorang dari melakukan tindakan perbuatan terlarang.
Budaya
adat Sumang dalam masyarakat Gayo merupakan suatu gagasan nilai budaya dan
agama yang diadopsi masyarakat yang menjadi acuan perilaku masyarakat yang
dikemas dalam adat istiadat atau hukum adat.[3]
Sumang
lebih menitik beratkan pada larangan agar tidak terjadi pergaulan bebas yang mengarah
kepada kegiatan sex. Sedangkan kemali lebih menitik beratkan pada larangan
sikap, perilku individual yang mengarah kepada ketidaksopanan, contohnya : Tidak
baik anak laki-laki duduk ataupun berjalan berdampingan dengan bapaknya bila
anak tersebut telah memasuki usia baligh, tidak baik duduk ditangga atau didepan
pintu masuk rumah.
REGARD
: YUNI SAPUTRI
DAFTAR PUSTAKA
Lestari
Titit, Sumang Dalam Budaya Gayo, ( Banda Aceh : Balai Pelestarian Sejarah
dan Nilai Tradisional, 2012 )
[1] Titit Lestari, Sumang Dalam Budaya Gayo, Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Banda Aceh, 2012, Hal : 2.
[2] Titit Lestari, Sumang Dalam Budaya Gayo, Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Banda Aceh, 2012, Hal :11.
[3] Titit Lestari, Sumang Dalam Budaya Gayo, Balai
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Banda Aceh, 2012, Hal:
15.
Saya suka atas bacaan di atas
BalasHapus