BAB
I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Masalah
Keanekaragaman
suku yang ada di setiap daerah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan
budaya. Setiap dari kebudayaan ini pun memiliki wujud-wujud kebudayaan
tersendiri yang didukung oleh mesyarakat. Kebudayaan suku bangsa memiliki ciri
yang bersifat fisik dan nonfisik. Kebudayaan merupakan
suatu sistem makna simbolik. Seperti dalam bahasa, kebudayaan merupakan suatu
sistem semiotik yang mengandung simbol-simbol yang berfungsi mengkomunikasikan
maknanya dari pikiran seseorang ke pikiran-pikiran orang lain. Kebudayaan
adalah objek, tindakan atau peristiwa dalam dunia yang dapat disaksikan,
dirasakan dan dipahami yang mengisyaratkan makna-makna anta r pikiran
angota-angoota individual masyarakat.
Adat dan upacara perkawinan menjadi bagian dalam suatu sistem adat istiadat
masyarakat. Selain itu juga adat dan upacara perkawinan dapat dijadikan sebagai
sarana yang tepat untuk memperkokoh muatan kebudayaan yang dapat didukung oleh
masyarakat bersangkutan. Keikutsertaan masyarakat dalam menyelenggarakan
upacara perkawinan merupakan perlambang adanya dukungan masyarakat dalam
mempertahankan kebudayaannya.
b. Rumusan Masalah
Setelah kita mengetahui tentang latar belakang permasalahan yang ada, maka
kita akan merumuskan tentang:
a. Bagaimana asal mula nama tamiang?
b. Bagaimana keadaan penduduk tamiang?
c. Bagaimana adat
perkawinan di tamiang?
c. Tujuan Permasalahan
dalam makalah ini akan
dijelaskan mengenai :
a. Asal usul nama tamiang
b. Keadaan penduduk tamiang
c. Adat perkawinan di tamiang
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Asal usul Nama
Tamiang
Konon nama
tamiang berasal dari julukan orang pasai terhadap daerah taklukannya, yang
berada di persimpangan sungai simpang kanan dan simpang kiri. Tamiang merupakan
suatu daerah yang menjadi tempat kerajaan taklukkan orang pasai. Raja tamiang
saat itu bernama Raja Muda Setia. Sebutan tamiang diberikan kepada raja muda
sedia karena ia mempunyai tanda atau ciri pada tubuhnya, yaitu warna hitam
dipipnya, apabila diterjemahkan dalam bahasa mereka adalah hitam (itam)
pada pipinya (mieng), yang digabungkan kata tersebut menjadi tamiang.
Pendapat lain tentang seputar mitos nama tamiang mengatakan nama tersebut
berasal dari nama salah satu gugusan pulau di daerah Riau, yang merupakan
tempat tinggal leluhur mereka (suku bangsa Tamiang).
B.
Keadaan Penduduk
Tamiang
Kelompok kekerabatan terkecil dalam
masyarakat tamiang adalah keluarga batih atau keluarga inti yang unsur-unsurnya
terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Anak-anak yang sudah dewasa dan sudah kawin
membentuk suatu kelompok keluarga yang luas dan disebut dengan istilah kaum. Di
tamiang disebut kaum biak yang terbagi dua yaitu belah ibu dan belah
ayah. Perbedaan jarak jauh dan jarak dekat belah ibu dan belah ayah angat
bergantung kepada sistem sosial yang mengatur hak dan kewajiban yang berprinsip
kekeluargaan.
Pada masyarakat tamiang kedudukan
lelaki adalah sangat penting karena anak laki-laki pada suatu ketika merupakan
pewaris dan penerus cita-cita keluarga, yaitu pewaris gelar, hak atas tanah,
bahkan pada zaman silam dianggap sebagai pewaris pusaka kebatinan dan ilmu
gaib.
Sistem
kekerabatan masyarakat tamiang merupakan ikatan yang berdasarkan prinsip
keturunan. Untuk mengetahui kedudukan suatu keluarga dan peranannya dalam
masyarakat termasuk kemampuan untuk memimpin, sering dikaitkan dengan leluhur
atau ndatu yang merupakan cikal-bakal dari keluarga bersangkutan.
C.
Adat perkawinan
Masa
menempatkan ke anak ( perkawinan ) pada masyarakat tamiang mempunyai tata cara
tersendiri.[1]
Mengawinkan anak merupakan kewajiban utama yang sangat pokok bagi kedua orang tua dalam perkawinan suku
tamiang semenjak dilahirkan secara garis besarnya orangtua berkewajiban untuk
mendidik (mengasuh), mengkhitankan, kemudian mencarikan jodoh dan melaksanakan
upacara perkawinan terhadap anaknya.
Yang menjadi
penilaian bagi orang tua untuk mengawinkan anaknya ( menempatkan anak ), adalah
bila orang tua dan kaum kerabat telah semufakat menilai pemuda atau pemudi itu
telah cukup dewasa baik dalam umur maupun tingkah lakunya dan juga telah mampu
berdiri sendiri dalam segala hal. Menurut istilah orang tua-orang tua tamiang,
si pemuda telah mampu mengatap membuat ulu parang dari sendok yang
bermakna sebagai ibarat mampu berumah mampu berkerja mampu menyediakan pangan.
Sedangkan si gadis telah mampu menganyam tikar dan memasak yang bermakna
sebagai ibarat telah mampu menyiapkan peralatan rumah tangga dan penganan bagi
keluarganya.
Telah menjadi adat bagi suku perkauman Tamiang bahwa kedua orang
tuanyalah yang berkewajiban mencari jodoh buat si anak. Hal ini sangat
menentukan karena berkaitan dengan adat basa basi di suku Tamiang karena
menginginkan kawin berimpal.
Ada beberapa perkawinan dalam suku perkau man Tamiang antara lain :
a.
Kawin berimpal
Perkawinan antara anak abang ( anak nya yang laki-laki ) dengan
anak adik yang perempuan ( anak nya yang perempuan ), karena ini merupakan
kehormatan untuk kaum biak istri maupun dari kaum biak suami. Andaikata tidak
dijodohkan apabila ada pihak lain yang ingin melamar maka si ibu dari gadis
tersebut harus terlebih dahulu menanyakan kepada semua anak dari semua abang si
ibuapakah diantara mereka ada yang ingin mempersuntingi anaknya, apabila tidak
ada yang berkeinginan untuk kawin berimpal tersebut maka barulah boleh diterima
lamaran dari pihak lain.
b.
Kawin sewali
dan kawin sesuku
Istilah suku bagi orang tamiang sama dengan marga bagi orang
tapanuli. Sukses bagi orang aceh besar, familenaam dalam bahasa
belanda dan she bagi orang cina. bagi orang tamiang nama suku itu
diambil dari nama datangnya nenek moyang mereka ke tamiang, seperti untuk
keturunan raja pucuk suloh maka
keturunan raja tersebut dikatakan keturunan suku suloh, anak cucu raja
muda. Sedia keturunannya disebut keturunan suku sedia. Untuk keturunan
rakyat biasa dikenal dengan suku piker, berasal dari nama orang yang
datang dari aceh yang bernama teungku haji pikee, sehingga anak-anak
cucunya disebut keturunan suku pikir, maka orang tamiang zaman dahulu dilarang
kawin dengan yang sesuku karena ini adalah sumpah adat. Demikian juga halnya
dengan perkawinan sewali, yaitu perkawinan antara anak abang bapak atau anak
adik bapak yang laki / om atau pakcik, demikian seterusnya yang menyangkut
dengan wali.
Dalam suku perkauman tamiang dilarang kawin sewali karena ini
menyalahi adat oleh sebab itu jarang terjadi. Kalau hal ini terjadi haruslah
melaksanakan ā nyelahi adat ā berupa seekor kambing lengkap dengan tempatnya,
beras tujuh are ( tujuh bambu = 14 liter ) dan kain putih sekabung serta uang
dua ringgit diserahkan kepada raja melalui datok kampung dan dimasa sekarang
disesuaikan dengan mata uang yang berlaku dan diserahkan kepada pemuka adat.
Perlengkapan tadi dikendurikan untuk anak yatim sedangkan kain sekabung
diserahkan kepada imam ( orang yang mengurus masalah agama di desa ).
c.
Kawin lari
Cara
perkawinan yang dilakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan yang hendak
berumah tangga, hal ini terjadi karena jalinan kasih yang sangat mendalam dari
kedua insan tersebut dan ketika hendak
memasuki perkawinan, lamaran dari pihak laki-laki ditolak oleh keluarga segadis
dengan berbagai alasan. Hal ini dapat terjadi karena kebiasaan dalam suku
perkawinan tamiang waktu-waktu tertentu merupakan suatu kebebesan bagi si gadis untuk keluar dari rumah dengan
dandanan yang menarik ketika membantu dirumah-rumah orang yang akan mengadakan pesta atau pada
saat nyeranye menanam padi dan megirik padi ( merontokkan padi secara manual ).
Disamping itu juga kawin lari dapat terjadi pada pemuda yang sering bertandang
dirumah segadis dan sering bermalam diberandang rumah tersebut yang sengaja
disediakan buat anak lajangnya bagi suku perkauman tamiang.
Suatu hal yang
tabu bagi suku perkauman tamiang yaitu si pria tidak dibenarkan bertandang ke
rumah si gadis bila dirumah tersebut tidak ada orang tua atau orang yang
berkeluarga hal ini akan dianggap sumbang pandang namun bukan tidak mustahil
pertemuan secara diam-diam juga dapat dilakukan. Apabila sigadis yang turun
dari rumahnya untuk menemui laki-laki, maka hal ini bila diketahui oleh
saudaranya dapat terjadi pertikaian bahkan bisa menimbulkan pertumpahan darah.
d.
Kawin sumbang
Suatu
perkawinan yang dipaksakan oleh adat akibat dari perbuatan pasangan tersebut
yang sumbang dipandang menurut adat. Perkawinan ini terjadi pada orang yang
telah pernah bercerai, apakah ia janda yang menjalin kasih dengan lajang lain
dengan bekas suaminya ataupun dengan suami orang lain. Dan duda yang
menjalin kasih dengan bekas istrinya ataupun
dengan istri orang lain dalam hal ini jalinan kasih mereka diketahui oleh orang
lain maupun pemuka adat, untuk menjaga agar tidak menjadi umpatan dan bahan
cerita orang banyak maka mereka dipaksa untuk kawin dan hal ini juga tidak
boleh ditolak, harus diterima ( kejadian ini lebih sering terjadi pada wanita
janda dengan lajang ).
Dalam proses
pemilihan jodoh bagi puta ataupun putri orang tamiang terlebih dahulu orang tua
merasapi bidal turun temurun.
Beberapa
tahapan dalam menempatku anak
1.
Mencari jodoh (
mencari judu )
a.
Ngeleh/ ngente.
Setelah kedua orang tua sepakat kemana arah yang akan dituju maka berangkatlah
si istri kerumah tetangga si gadis untuk mengetahui tingkah laku si gadis dan
telah ada atau tidaknya orang lain yang meminangnya. Bila kenyataannya si gadis
berkenan di hati keluarga dan belum dipinang oleh orang lain maka dikatakanlah
kerja kita mendapat sempene yang menda.
b.
Ngerisik.
Setelah ditentukan hari baik bulan baik disampaikan pesan kepada orang tua si
gadis bahwa akan datang orang yang berhajat ngerisik. Pada hari yang ditetapkan
datanglah orang tua dan si pemuda kerumah si gadis. Hal yang harus dipenuhi
pada saat pertemuan ini adalah menyampaikan maksud kedatangan dengan secara
adat, penuh kata-kata sopan santun. Ketika hendak menyampaikan kata biasanya
duduk bersimpuh atau bersila dengan tapak sirih didepan, setelah mengangkat
sembah ( kedua telapak tangan disatukan dan diangkat keatas kepala) dan
kemudian memegang tepak sirih barulah kata diucapkan.
c.
Sirih mimpi. Proses
berikutnya adalah si gadis mengundang seluruh wali waris dan wali syara juga
wali adat untuk membicarakan dan berunding tentang sunnih ngerisik apakah
diterima atau ditolak. Kalo pihak keluarga si gadis menerima maka sirih dibuka
tetapi bila ditolak sirih tidak diusik sama sekali. Pada hari yang telah
ditentukan datanglah kembali dari pihak pemuda untuk mengambil tepak sirih
ngerisik kalau tepak tersebut dibuka tandanya diterima dan biasanya di sertai
dengan ucapan ābak mimpi kamiā oleh sebab itu dari pihak dari pihak si
gadis tepak sirih itu disebut ā sirih mimpiā.
2.
Meminang
a.
Penyiapan sirih
besar. Setelah diterimanya sirih mimpi maka pihak pemuda atau pemudi segera
menetapkan tok selangke (orang yang mewakili pihak laki-laki untuk meminang si
gadis secara resmi). Proses peminangan ini haruslah diketahui oleh kepala adat
dan kedua belah pihak dengan membawa sirih secarong dan kain pinggang yang
menantinya akan memberikan kepada telangke.
Sirih
besar ini dipersiapkan oleh sanak keluarga sebanyak 3-5 tepak, yang berisi
lengkap sebagai yang telah ditentukan oleh adat.
b.
Ngantar sirih
besar. Sirih yang telah dipersiapkan di dalam tepak yang juga beserta cincin
tanda, suatu akan melakukan, sirih besar terlebih dahulu diletakkan di atas
tikar berkasab dan ditempatkan di tengah ruangan di mana telah hadir. Pemangku
adat dan orang patut-patut serta kaum keluarga, pada saat ini wali dekat dan si
ayah akan menyampaikan maksud untuk mengantarkan sirih besar ini sesuai mufakat
sewaktu bisik dan dijawab dengan sirih mimpi. Dalam proses percakapan antara
pihak perempuan dan laki-laki memakai percakapan pantun.
c.
Ikat janji. Pinangan
yang diterima oleh pihak perempuan, dilakukan ikat janji ( pertunangan ) dan
ditetapkan lamanya masa antara ikat janji dengan pelaksanaan perkawinan.
Apabila masa pertunangan ini salah satu pihak ingkar janji, pihak yang ingkar
janji didenda sesuai adat. Kalu pihak laki-laki ingkar, apa yang telah
diserahkannya menjadi milik perempuan, sebaliknya apabila perempuan ingkar
segala pemberian pihak laki-laki harus dikembalikan dua kali dari pemberian sebelumnya.
d.
Masa bertunang.
Waktu ikat janji juga ditetapkan lamanya masa antara ikat janji dengan
pelaksanaan perkawinan atau masa bertunangan, lama nya masa ini tidak tertentu,
karna kebiasaan di tamiang pesta perkawinan ini dilaksanakan setelah menuai
padi. Pada saat ini tok telangke memberikan pengarahan kepada pihak laki-laki,
dimana masa pertungan ketempat-tempat mana saja yang tidak boleh di kunjungi
yaitu ke rumah keluarga si gadis baik dari pihak maupun pihak dari ibu.
3.
Pelaksanaan
pesta perkawinan
Ketika pesta perkawinan telah ditetapkan maka
diadakan upacara duduk pakat yang dihadiri oleh sanak keluarga, datuk,
imam dan orang-orang tua di kampung. Selanjutnya diadakan pula duduk kerja ,
sejak awal acare sanak keluarga dari jauh maupun dari dekat pihak ibu
dan ayah mulai berkumpul. Selanjutnya adalah duduk berinai, pada malam
berinai resmi telah disetujui oleh wali karung dan istri datuk. Calon pengantin
melaksanakan malam inai di rumah masing-masing. Terhadap pengantin perempuan
diadakan mandi bersiram, berendam .
Sebelum
mempelai laki-laki diantarkan ke rumah mempelai wanita diadakan upacara ngisi
batil. Selanjutnya mempelai laki-laki diantar ke rumah memepelai perempuan
dengan diiringi shalawat nabi. Ketika mempelai datang disambut dengan nabor
beras dan kata-kata kiasan dari seorang laki-laki tua sebagai harapan
terhadap kedua mempelai supaya rukun dan berbahagia. Kemudian mempelai
disandingkan di pelaminan. Setelah mempelai laki-laki duduk, bidan pelaminan
menyuruh mempelai wanita menyembah pengantin laki-laki pada saat itu pengantin
laki-laki menyerahkan sebentuk cincin ke tangan istrinya yang dinamakan cemetok
suami di pelaminan. Kemudian kedua pengantin di tepung tawari oleh sanak
keluarga.
Selanjutnya
adalah acara mandi gaseh ( basah kuyup ). Setelah kegiatan duduk di
pelaminan berakhir dilanjutan dengan mandi basah. Pengantin laki-laki dan
perempuan dibawa ke halaman rumah yang sudah dipersiapkan tempat kegiatannya.
Keua pengantin telah menggunakan pakaian
mandi yang telah dipersiapkan oleh bidan. Sebelum acara dimulai kedua
pengantin dibeeri nasihat atau petunjuk oleh yang dituakan dalam keluarga.
Setelah nasihat selesai dilanjutkan denga acara mandi basah. Pertama-tama
pengantin laki-laki melakukan penyiraman, kemudian disusul oleh pengantin
perempuan sehingga silih berganti melakukan siram menyiram hingga mereka basah
dan seluruh penonton juga turut basah. Hal ini memberi arti bahwa ketika mereka
menempuh hidup berumah tangga maka suka dan duka dijalani bersama walaupun
rintangan akan menjelma.[2]
Upacara
perkawinan pada masyarakat tamiang juga diiringi dengan kesenian rakyat. Dalam
sebuah kesenian rakyat yang dipertunjukkan dalam upacara perkawinan, dan juga
ada beberapa upacara lainnya diantaranya adalah peralatan kesenian. Masyarakat
tamiang memiliki koleksi peralatan kesenian diantarnya adalah celempong,
kecapi, kentung, lole, dan nutok emping. Peralatan tersebut amat berguna untuk
mengiringi berbagai jenis tari dan lagu. Beberapa dari tari khas tamiang adalah
aek ulak, cuwek, inai, dan lang ngelekak, sedangkan beberapa judul lagu rakyat
tamiang diantaranya adalah lagu dendang sayang, dan rebani.[3]
BAB
III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Menginjak masa dewasa, seorang
laki-laki atau wanita tamiang wajib untuk mencari pendamping hidupnya. Acara
pertama yaitu pemilihan jodoh yang diadakan dengan mengundang kawom untuk
bermusyarwarah. Apabila telah terjadi kesepakatan anatara kedua belah pihak,
maka dilanjutkan pada tahap berikutnya, yaitu memasuki upacara pernikahan.
Dalam upacara tersebut, seperti biasanya terdapat pada suku lain, akan diajukan
syarat mas kawin. Dan dalam suku tamiang sendiri terjadi perbedaan antar
masyarakat dalam jumlah mahar dan pembagian tingkatan pelaminan. Dan dalam
upacara perkawinan terdapat acara persandingan kedua mempelai. Yang keduanya
akan dibimbing oleh maja untuk menuju tempat persandingan.
b.
Saran
Kami menyadari dalam makalah ini
masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Baik itu dalam kelengkapan
bahan ataupun dalam kesalahan dalam penulisan. Untuk itu, kami ingin adanya
saran untuk lebih baiknya lagi dari makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Sufi, Rusdy, Dkk, 2007, Adat Perkawinan Etnis Tamiang,
(Banda Aceh: Dinas Kebudayaan).
-----, 1998, Keanekaregaman Suku Dan Budaya Di Aceh, (Banda
Aceh: Balai Kajian
Sejarah Dan
Nilai Tradisional).
Lestari, Titit, 2002, Jurnal Hasil Penelitian Kesejarahan Dan
Nilai Tradisional, (Banda
Aceh: Balai
Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional).
Komentar
Posting Komentar