ASAL
MULA NAMA DAN ORANG ACEH DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF PARA AHLI
Asal nama Aceh sebagaimana yang pernah dikemukakan umumnya tidak banyak yang dapat
diketahui dengan pasti. Tengku Syech Muhammad Noedin menyatakan bahwa nama Aceh
itu berasal dari kata Aca yang kata Aceh itu berasal dari “ bak si-aceh-aceh “, semacam pohon beringin
yang rindang.
Pelaut asing zaman dahulu, baik bangsa Cina, Arab
atau Barat, menggunakan bermacam-macam kata untuk daerah Aceh. Menurut
berita-berita yang dikumpulkan Cina dalam masa pemerintahan keluarga Liang,
disebutkan sekitar tahun 500 M, disebelah utara Sumatera terdapat suatu
kerajaan Budha bernama “Poli”. Penulis-penulis Arab dari abad ke IX sampai
tahun 950 M berbicara tentang Sumatera Utara, dan menyinggung nama-nama “Rami”,
“Al-Raniri”, “Lamiri” dan sebagainya.
Dalam tahun 1292 Marco Polo dalam perjalanannya dari
Peking ke Persia mengunjungi serangkaian kerajaan di Sumatera Utara, yang
mempunyai nama berlainan, yang masih hidup sampai sekarang ini, yaitu Ferlec =
Peurela, Basma=Pasai, Fansoer=Baros, Lamori atau Lamoeni=Aceh Besar. Tatkala
itu Islam sudah menginjakkan kakiknya di Sumatera Utara.
Sebagaimana disebut di atas bahwa bangsa Arab pernah
memakai nama Sumatera Utara dengan Rami (Ramni) tahun 400 M. Oleh orang Cina
disebut sebagai Lan-Li, Lam-wu, Nan-wu-li dan Nan-Poli. Yang sebenarnya sebutan
Aceh adalah Lam Muri, dalam sejarah Melayu adalah Lambri ( Lamiri) dan oleh
Marcopolo disebut Lambri. Sesudah kedatangan Portugis, nama Lambri tidak
terdengar lagi,tetapi tergantikan
menjadi Achem ( Aceh ). Orang Portugis dan Italia biasanya menyebut Achem,
Achen, Acen. Kemudian orang Arab menyebutkan lagi Aysi, atau juga Dachem,
Dagin, Dacin. Penulis-penulis Prancis menyebutkan Achem, Achen, Achin, Acheh,
orang Inggris menyebutnya sebagai Achen, Achin, dan akhirnya orang Belanda
menyebutnya Achem, Achim, Achein, Acin, Atsyiem, Atsjeh, dan akhir nya Aceh.
Orang Aceh sendiri menyebut Aceh, begitu pula dalam
tarikh Melayu, undang-undang melayu, dalam surat-surat Aceh lama (sarakata) dan
pada mata uang emas (dirham), uang timah (keueh) dan sebagainya. Tentang asal
nama ini belum ada keterangan yang jelas.
Menurut Gerini, nama Lambri (Rami, Ramni) adalah pengganti Rambri (Negeri Rama) yang
terdapat di Arakan (India belakang = Birma), yang merupakan perubahan Rama-bar
atau Rama-bari, seperti yang terdapat dalam bahasa-bahasa India Selatan
Koromandel. Menurut Rouffaer, asal kata al-Ramni, atau al-Rami barangkali
merupakan pengertian yang salah dari kata Ramana= Arakan yang terpakai oleh
orang singhala (sailan). Hubungan Aceh dengan Birma amat dekat, yang dapat
dilihat dari nama kota di Aceh yang banyak menyerupai nama-nama kota di Birma.
Dalam tarikh Kedah (Marong Mahawangsa) dari tahun 1220 M = 517 H, Aceh sudah
disebut sebagai satu negeri di pesisir pulau Perca (Sumatera).
Ada suatu cerita tentang nama Aceh: sebuah kapal
dari Gujarat di India kabarnya tiba disungi Cidaih (baca Ceudah=cantik). Awak
kapal yang naik kedarat menuju kekampung Pandee (Ramni), tiba-tiba ditengah jalan
mereka keujanan dan berteduh dibawah pohon yang rindang. Mereka berseru
memuji-muji daun pohon tempat berteduh, Aca, Aca, Aca( indah, indah, indah). Di
Pidie kapal tersebut berjumpa dengan sebuah perahu dari sungai Ceudah. Mereka
bertanya, apakah perahu tersebut mengunjungi kampung Pandee, yang diiyakan oleh
mereka. Para awak kapal pun berseru: aca, aca, aca. Yang kemudian berubah
menjadi Aceh.
Cerita lain mengenai asal nama Aceh terdapat dalam
sebuah uku bangsa Pegu (Hindia Belakang) yang meneritakan perjalana Budha ke
Indo Cina dan kepulauan Melayu. Ketika sang Budha berdiri diatas gunung dipulau
Sumatera, keluar cahaya aneka warna dari tubuhnya, sehingga orang berseru:
Acchero Vata (acharam bata bho = alangkah indahnya). Jadi itulah asal nama
Aceh. Yang dimaksud dengan gunung yang bercahaya aneka warna adalah ujung
Teungku di Batu Putih dekat dengan Pasai. Batu Puti tersebut telah hancur
ditembak oleh Meriam kapal Portugis.
Pendapat lain mengenai penamaan Aceh adalah pada
suatu hari, dua orang putri adik beradik mandi di sungai, adik dalam keadaan
mengandung. Tiba-tiba hanyutlah satu rakit gedebok pisang, yang diatasnya satu
empang yang bergerak-gerak, kedua putri itu berenang dengan menarik rakit
tersebut kepnggir serta mengambil empangnya. Setelah dibuka ternyata isinya
seorang bayi,lalu sikakak menyatakan kepada adiknya “Biarlah saya yang
memeliharanya, karena kau telah memiliki anak dalam perutmu”. Permintaan itu
dikabulkan oleh siadik. Anak itu pun dibawa pulang dan putri yang tua berdiang
di api seperti biasanya orang melahirkan. Masyarakat menjadi heran mendengar
kakak nya sudah bersalin, sementara yang hamil adiknya, karena itu masyarakat
menyatakan “Adoe nyang mume, A nyang ceh” atau “Adoe nyang mume, Da nyang ceh”.
Dari kata-kata itu akhirnya menjadi Aceh atau Daceh.
Berita yang penting mengenai Sumatera Utara berasal
dari ceritera pelayaran Ibn Baitullah, yang dalm tahun 1345 dan 1346
mengunjungi daerah itu. Dalam tahun 1365 Hikayat Jawa Nagarakartagam menyebut
Aru, Tamiang, Peureulak, Samudera, Lamuri dan Barus sebagai jajahan Majapahit.
Pendudukan Malaka oleh bangsa Portugis (1511) mengakibatkan saudagar-saudagar
Timur, yang menolak kerja sama dengan Portugis mengunjungi Aceh dan membawa
barang-barang perdagangan serta harta benda yang memakmurkan negeri. Dengan
demikian datanglah masanya bahwa Aceh di Sumatera Utara memainkan peranan
penting dalam dunia plitik dan ekonomi dikawasan ini.
Mengenai asal usul pendudk aceh, bangsa yang datang
ke sana terjadi perselisihan pendapat penulis sejarah. Agama Hindu pernah
mempengaruhi Aceh selama berabad-abad, dapat dilihat dari bahasa yang digunakan
masyarakat Aceh, pakaian, perhiasan, dan lain-lain. Pergaulan antara masyarakat
dengan mereka yang berasal dari India juga tetap berlangsung dalam masa Islam.
Banyak anak negeri diIslamkan dari agama Hindu yang lebih dahulu mereka anut.
Bukan saja orang Keling, Madras dan Malabar, tetapi juga orang Keling yang
beragama dan orang Cati belum mengenal Tuhan banyak datang bergadang ke Aceh,
dan akhirnya masuk Islam.
Suatu keterangan dari Van Langen, mengatakan “ Kaum
Imuem Peuet”, sebagaimana didapati dalam karangan G.K. Niemann, asal mula orang
Aceh semuanya dari bangsa Hindu. Namun pendapat ini ditolak oleh Snouck
Hurgronje. Keterangannya dianggap berasal dari orang Aceh yang tidak paham akan
sejarah. Selain itu penduduk Aceh terdiri dari orang Arab, Persia, Batak,
Turky, dan Mante, yang jumlahnya sedikit sekali dan tinggal dekat Lam No dan
mempunyai bahasa sendiri. Orang Aceh Gayo ( Aceh Tengah ), dan Alas adlah bangsa
asli daerah ini yang terdapat dalam jumlah besar.
Bangsa Aceh termasuk ke dalam lingkungan bangsaa
Melayu yaitu bangsa Mante ( Bante), Lanun, Sakai, Djakun, Semang ( orang-orang
laut ), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang dari
Tanah Semenanjung Melaka. Menurut etnologi, semua bangsa tersebut ada
hubungannya dengan bangsaa Polinesia di Babilonia dan Bangsa Dravida di Lembah
Sungai Indus dan Gangga. Ada kemungkinan pula bahwa orang Batak/Karo serta Gayo
dan Alas juga berhubungan erat dengan bangsa tersebut. Akan tetapu hal ini
belum dipastikan oleh para ahli.[1]
[1] Farid
Wajdi, Aceh Bumi Srikandi, ( Banda
Aceh : Pemerintah Provinsi NAD, 2008 ), cet.pertama, hal : 35-38.
Komentar
Posting Komentar